News
Selasa, 18 Oktober 2011 - 13:01 WIB

Pengantin keraton bersua di prosesi 'panggih'

Redaksi Solopos.com  /  Arif Fajar Setiadi  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gusti Kanjeng Ratu Bendara bersimpuh di hadapan kedua orangtuanya. (Foto : Antara)

Jogja (Solopos.com)– Pasangan pengantin Gusti Kanjeng Ratu Bendara dan Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara mengenakan busana tradisional Jogja, “paes ageng”, saat menjalani prosesi “panggih” (temu) di Bangsal Kencana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Selasa (18/20/2011).

Advertisement

Putri bungsu Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X itu mengenakan busana berupa “kampuh” (dodot) batik bermotif semen raja berwarna hijau dan ungu keemasan.

Kain “kampuh” itu dilapisi kain batik cinde merah dengan sanggul berhias untaian melati dan bunga yang dilengkapi sejumlah perhiasan berupa kalung, gelang, cincin, dan anting.

Advertisement

Kain “kampuh” itu dilapisi kain batik cinde merah dengan sanggul berhias untaian melati dan bunga yang dilengkapi sejumlah perhiasan berupa kalung, gelang, cincin, dan anting.

Pengantin putra KPH Yudanegara juga mengenakan kain “kampuh” serupa dan celana batik cinde merah ber-“kuluk” (topi) putih serta memakai kalung, anting, gelang, dan cincin.

Prosesi “panggih” pengantin diawali dengan tari “edan-edanan” yang dibawakan tiga penari. Ini adalah simbol tolak bala.  Mereka diiringi rombongan abdi dalem Keparak yang membawa kembar mayang dan pisang sanggan.

Advertisement

Pengantin putra dan pendamping berdiri di emper Bangsal Kencana menunggu kehadiran pengantin putri dari Sekar Kedhaton.

Beberapa saat kemudian, dengan mengenakan sanggul berhias untaian melati dan bunga, pengantin putri hadir didampingi BRAy Suryodiningrat dan BRAy Suryomentaram diiringi GKR Pembayun, GKR Condro Kirono, GKR Maduretno, dan GRAj Nur Abra Juwita.

Upacara “panggih” dimulai dengan lempar sirih. Pengantin putra dan putri saling melempar sirih sebagai simbol bersatunya hati.

Advertisement

Prosesi dilanjutkan dengan pengantin putri GKR Bendara membasuh kaki pengantin putra KPH Yudanegara sebagai simbol kesetiaan seorang istri kepada suami.

Selanjutnya prosesi “pondongan”, pengantin putra KPH Yudanegara dibantu GBPH Suryodonindrat “memondong” pengantin putri GKR Bendara sebagai wujud tanggung jawab suami kepada istri.

Pengantin putri dan putra kemudian berjalan menuju pelaminan di Tratag Bangsal Prabayeksa, diiringi Sultan dan GKR Hemas serta orang tua KPH Yudanegara untuk menerima ucapan selamat dari para tamu.

Advertisement

Prosesi dilanjutkan dengan “dhahar klimah”, pengantin putra KPH Yudanegara mengambil nasi kemudian “dikepel” dan diletakkan di piring pengantin putri GKR Bendara.

Nasi yang telah “dikepel” itu kemudian dimakan GKR Bendara.

Menurut Koordinator Penyelenggara Pernikahan GKR Bendara-KPH Yudanegara, KRT Yudahadiningrat, upacara “panggih” adalah bertemunya pengantin putra dan pengantin putri setelah melakukan akad nikah.

“Upacara `panggih` merupakan simbolisasi yang mengibaratkan sebuah pertemuan sakral dalam sebuah ikatan perkawinan. Pasangan pengantin dipertemukan dalam sebuah rangkaian lengkap yang sarat makna, agar dalam setiap tahap kehidupan keluarga kelak memperoleh jalan terbaik,” katanya.

Setelah “panggih”, prosesi pernikahan GKR Bendara dengan KPH Yudanegara akan dilanjutkan dengan kirab pengantin dan resepsi pernikahan di Kepatihan. ant

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif