SOLOPOS.COM - Imam Subkhan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Sebenarnya judul esai saya ini atau lebih tepatnya pernyataan salah seorang youtuber ini sudah lama diperbincangkan di kalangan youtuber Indonesia. Kali pertama pernyataan ”Youtube Lebih dari TV” dilontarkan oleh Jovial da Lopez-Skinny Indonesian 24  sekitar lima tahun yang lalu.

Pernyataan itu kemudian ramai dibahas oleh para youtuber lain, termasuk artis yang juga punya kanal Youtube, yaitu Deddy Corbuzier. Kini menjadi tren lagi setelah unggahan konten video dari beberapa youtuber, seperti Jovial da Lopez, Andovi da Lopez, Bryan Furran, Ferry Irwandi, Sarah-Osi, dan Leyla Aderina di kanal Youtube milik Skinny Indonesian 24.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Meski baru diunggah pada 24 Februari 2021 yang lalu, jumlah penonton sudah mencapai satu  juta lebih, 120.000 like, dan 15.000-an comments. Hal yang menjadi sorotan utama dalam konten video tersebut adalah efek atau pengaruh tayangan video terhadap penonton atau pengguna Internet (user) dan masyarakat luas.

Awalnya, berangkat dari kegundahan para content creator Youtube yang menganggap acara televisi udah terjebak pada hal-hal yang dramatis, mistik, sensasional, penuh intrik, alay, hedonisme, konsumerisme, sehingga cenderung membosankan dan tidak mendidik masyarakat.

Seolah-olah kreativitas dan inovasi telah mati di kalangan insan pertelevisian. Youtube menyajikan konten-konten yang lebih beragam dan penonton bisa memilih sesuai selera dan keinginan. Keunggulan Youtube dibandingkan televisi tampak nyata jika dilihat dari jumlah penonton.

Dalam sebuah survei baru-baru ini, terutama selama pandemic Covid-19, masyarakat Indonesia yang mengakses platform Youtube jauh lebih tinggi, yaitu sebesar 68%, jika dibandingkan yang melihat tayangan televisi yang hanya mencapai 59% (lokadata.id).

Tak mengherankan perusahaan pengiklan mulai berpaling dari TV dan beralih ke media digital, seperti marketplace, media sosial, termasuk beriklan di kanal Youtube. Selain itu, kelebihan Youtube dibandingkan TV adalah soal transparansi data statistik perkembangan konten video, bahkan menguraikan secara detail karakteristik penonton setiap saat.

Tentu saja hal ini sangat membantu para kreator atau pemilik kanal untuk mengevaluasi dan mengembangkan konten-konten video yang disukai penonton. Selain itu, setiap saat Youtube menampilkan video-video yang sedang ngetren atau paling banyak jumlah penontonnya, termasuk mengetahui berapa yang suka, yang tidak suka, yang memberi komentar, dan yang membagikan video tersebut kepada orang lain (engagement), meskipun video tersebut bisa bersumber dari tayangan televisi yang diunggah juga di Youtube.

Polarisasi dan Fanatisme

Apakah parameter itu saja yang membuat Youtube lebih berkuasa atas TV? Pada kesempatan ini, saya tidak terlalu fokus pada hal-hal yang bersifat kuantitatif, seperti statistik jumlah penonton. Saya lebih menyoroti pada dampak psikologis dan sosiologis, yaitu mengarah pada terjadinya polarisasi dan fanatisme yang mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat.

Efek buruk Youtube ini juga yang menjadi kekhawatiran dan kegelisahan salah seorang youtuber Indonesia, Ferry Irwandi, di salah satu konten vide berjudul Polarisasi Fanatisme dan Konspirasi. Bayangkan saja, penyedia platform memanjakan kegemaran penonton atau pengguna Internet.

Semakin penonton sering melihat video dengan tema-tema tertentu, secara otomatis pengelola media akan membombardir dengan vide-video yang sejenis. Tak mengherankan ketika di beranda Youtube pengguna akan disuguhi video-video yang relevan dengan tema-tema yang sering ditonton.

Kerja algoritme Youtube mengikuti selera dan pilihan penonton. Youtube akan semakin banyak menyarankan dan merekomendasikan video yang cocok untuk ditonton pengguna tanpa perlu mengetik kata kunci di kotak pencarian. Mengapa Youtube melakukan demikian? Untuk mempertahankan atensi atau perhatian pengguna dan ujungnya adalah kepentingan iklan.

Di sinilah terjadi simbiosis mutualisme antara pengelola media Youtube, pembuat konten (content creator), dan perusahaan pengiklan. Secara berbagi, Youtube dan kreator akan meraup keuntungan yang besar dari atensi dan loyalitas penonton terhadap konten video di Youtube.

Saya tidak menyalahkan pengiklan karena secara logika mereka akan memasang iklan di video-video yang jumlah penontonnya banyak. Yang jadi masalah adalah metode mempertahankan atensi tersebut atau cara kerja algoritme Youtube.

Para penonton, masyarakat, dikotak-kotakkan berdasarkan minat dan kesukaan (interest) masing-masing. Mereka seolah-oleh tenggelam menikmati dunianya sendiri. Mereka membangun logika pengetahuan dan kebenaran berdasarkan satu perspektif saja, yaitu dari apa yang dilihat dan didengar secara terus-menerus.

Setiap saat mereka dicekoki narasi dan opini dari sumber-sumber video yang relatif sama atau sejalan. Tanpa disadari, tercipta pola berpikir yang egoistis, individualis, ekstrem, fanatik, dan merasa benar sendiri. Hal inilah yang dianggap membahayakan keberlangsungan kehidupan sosial.

Bayangkan saja jika ini terjadi di dunia politik, misalnya pada saat pemilihan presiden. Polarisasi fanatisme dan perpecahan di masyarakat akan semakin tampak nyata. Mereka hanya akan membenarkan apa yang telah dilihat dari calon pemimpinnya sendiri.

Mereka akan selalu menyalahkan pandangan kelompok lain. Jika ini terjadi, kebenaran dan keadilan tidak lagi berlaku secara universal, tetapi hanya terpaku di kelompoknya masing-masing. Sungguh dahsyat dampaknya bukan? Bagian terburuk dari semua ini adalah sulit mencegah terjadinya polarisasi tersebut.

Ini dilakukan oleh artificial intelligence (AI) berdasarkan data dan analisis kebiasaan (habit) dan tingkah laku (behavior) pengguna Internet. Teknologi AI mampu memprediksi atau menebak informasi apa yang sedang dibutuhkan pengguna di mesin pencarian Internet.

AI akan bekerja menganalisis data yang dikumpulkan dari hasil pencarian pengguna di Internet, termasuk detail data diri pengguna. Pemilik media akan menyuplai konten-konten video sesuai minat, kesukaan, dan karakteristik penonton.

Kesadaran

Jika sudah seperti ini, bagaimana cara menghentikan polarisasi di dunia maya yang bisa berujung konflik dan perpecahan di kehidupan sosial? Satu-satunya jalan, pemilik media tak lagi menerapkan teknologi AI, tetapi hal ini rasa-rasanya mustahil untuk dilakukan karena ini menyangkut keberlangsungan bisnis mereka.

Mereka secara mati-matian akan merebut dan mempertahankan atensi para pengguna Internet untuk tetap setia mengakses media sosial. Lalu, apa yang mesti dilakukan? Barangkali yang memungkinkan untuk disentuh adalah para pembuat konten (content creator) dan para pengguna Internet itu sendiri.



Para kreator video seharusnya memiliki tanggung jawab moral dan sosial atas semua konten yang dibuat dan disebarkan. Jika belum bisa memberi edukasi dan manfaat kepada masyarakat, setidaknya tidak menjerumuskan dan mencelakakan orang lain.

Sedangkan para pengguna, hendaknya memiliki filter, lebih cerdas, dan mau membuka pikiran seluas-seluasnya. Mereka harus sadar sepenuhnya bahwa bahwa konten-konten di media sosial lebih banyak bersifat manipulatif.

Semua dibungkus dengan berbagai tujuan dan kepentingan. Apa yang dilihat dan didengar tak lagi semata-mata karena kebutuhan, tetapi faktor keinginan dan ambisi. Hal-hal yang disukai belum tentu baik untuk dirinya dan orang lain.

Selain itu, diperlukan ruang-ruang diskusi dengan orang lain yang berbeda pendapat dan pemikiran sehingga tak selalu membenarkan secara membabi buta apa yang telah dilihat di media sosial. Pada dasarnya Internet hanyalah alat atau media yang bersifat terbuka, transparan, dan netral.

Internet akan selalu menyesuaikan dengan kemauan pengguna. Internet bisa baik dan bermanfaat bagi orang banyak manakala digunakan untuk hal-hal yang positif dan berfaedah. Internet bisa jahat dan mencelakakan orang lain di tangan pengguna yang tidak bertanggung jawab. Semua kembali kepada manusianya bukan teknologinya. Sampai di sini, sudah percaya bahwa Youtube lebih dari TV?

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya