SOLOPOS.COM - Aksi menolak revisi UU KPK dan pengesahan RKUHP di Gladak, Solo, Kamis (19/9/2019). (Istimewa)

Solopos.com, JAKARTA — Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengkritik klaim pemerintah dan DPR yang mengatakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai upaya dekolonialiasi atas KUHP warisan Belanda.

Menurutnya, hal tersebut tak sepenuhnya mencerminkan perkataan pemerintah dan DPR. Asfinawati mengemukakan sejumlah pasal yang terdapat dalam KUHP versi kolonial justru dimuat lagi dalam RUU KUHP yang rencananya bakal disahkan DPR pekan depan.

Promosi Jadi Merek Bank Paling Berharga di RI, Nilai Brand BRI Capai US$5,3 Miliar

Satu pasal yang disoroti Asfinawati, misalnya tentang aturan mengenai unggas yang dimuat dalam Bagian Ketujuh Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan Pasal 278 RKUHP.

“Yang kedua soal unggas. Betul dia ada di undang-undang yang lama, karena itu pertanyaan saya ini mau mengikuti semangat kolonial atau tidak? Kan tadi argumennya begitu. Kalau semangatnya untuk menghilangkan kolonialisme tapi masih mengambil pasal-pasal kolonial ya apa bedanya itu maksud saya,” ujar Asfinawati dalam diskusi publik di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9/2019), dilansir Suara.com.

Untuk itu kata dia, dicomotnya kembali aturan-aturan peninggalan Belanda menandakan argumen upaya dekolonialisasi sudah gugur. Ia berharap pemerintah maupun anggota dewan tak lagi membodohi rakyat dengan argumentasi tersebut

“Tesis mau mengganti produk kolonial ada di mana-mana, dan menjadi justifikasi mengganti KUHP dan itu yang dikatakan pemerintah dan DPR. Kalau ternyata apa-apa yang di dalam kitab undang-undang kolonial itu masih kita gabungkan, maka tesis itu sudah gugur di depan publik. Dan, jangan kita membodohi publik karena sebagian besar draf yang ada di KUHP lama, masih dimasukkan ke RKUHP kemarin,” kata Asifnawati.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebut aturan ihwal pasal unggas sudah terdapat dalam KUHP dan kemudian masuk dalam RUU KUHP. Hal itu, dikatakannya usai pasal tersebut menjadi sorotan. Ia kemudian menjelaskan mengapa pasal unggas kembali dimuat.

“Jadi setiap orang yang membiarkan unggas atau ternaknya berjalan di kebun justru akan ancaman hukumannya menjadi kategori dua yang menjadi lebih ringan dari pada KUHP,” ujar Yasonna di Kemenkumham, Jakarta Selatan, Jumat (20/9/2019).

“Mengapa ini masih diatur ? Kita ini masih banyak desa, masyarakat kita masih banyak yang agraris yang petani, masyarakat yang membuatkan sawah dan lain-lain, ada yang usil, dia enggak pidana badan, dia hanya denda dan itu ada KUHP dan di KUHP itu lebih berat sanksinya, kita buat lebih rendah, jadi jangan dikatakan mengkriminalisasi,” tuturnya.

Diketahui, aturan mengenai unggas tersebut terperinci jelas dalam Bagian Ketujuh Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan Pasal 278 RKUHP.

“Setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II [Rp10 juta],” demikian Pasal 278.

Selain dikenakan denda, berdasarkan Pasal 279 ayat 2, hewan ternak yang melanggar aturan menginjakkan kaki di tanah atau kebun yang terdapat tanaman atau telah ditaburi benih bakal disita oleh negara.

Pasal 279 berbunyi:
Ayat 1, “Setiap Orang yang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II.”

Ayat 2, “Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dirampas untuk negara.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya