SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Dari tadi tak-perhatikan, kowe thik nggresula dhewe wae Dap… Ada apa ta,” pertanyaan Pakdhe Harjo itu tiba-tiba membuyarkan lamunan Dadap.

“Gini lho, Dhe. Anak saya, si Gembili, sedang menghadapi ujian nasional SMA. Di saat yang hampir bersamaan, dia juga diterima tanpa tes di fakultas favorit di perguruan tinggi negeri favorit juga…”
“Wèh, anakmu mlêtik tenan… kudu-nya rak malah seneng ta… bahagia ngono… lha kok malah sajak sedih. Orang-orang lain saja pada kepéngén anaknya ketampa kok,” tukas Pakdhe.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

“Wéyalaah, Dhe… usaha kami sedang sepi saat ini. Belum tahu apakah beberapa bulan mendatang masih bisa bertahan. Untuk menghadapi ujian nasional saja sudah ngutang sana-sini… karena harus nglunasi ini dan itu. Kalo anake ketampa kuliah, kan ya butuh muthig têné [dhuwit gedhe]…” kata Dadap dengan nada nggresula lebih lanjut.

“Ada apa ta Dap, kok sajak-nya serius… kayak sedang mikirin negara. Wong para pejabatnya saja sekarang sudah ndak pada mikirin negara lagi kok…” ujar Noyo yang baru saja datang dan langsung nimbrung pembicaraan.

“Wèh, Kang Noyo… baru datang ya… Ini lho, saya sedang berkeluh kesah ke Pakdhe Harjo tentang nasibnya si Gembili… Sekarang ini, apa-apa kok dhuwit… Kalo gak punya dhuwit
rasanya ndak boleh hidup di dunia ini…” Dadap berusaha menjelaskan

“Memang susah sekarang ini… Lha wong para pemimpin kita itu cenderung maju tak gentar, membela yang bersedia mbayar kok… Mana bisa, mereka mikirin penderitaan kita-kita ini, rakyat jelata…” kata Noyo dengan nada geram campur kepedasan setelah nyeplus cabe untuk menemani tahu bacem.

“Hati-hati kalo ngomong… jangan asal tuduh… Lha pemimpin kita terlihat bekerja keras gitu kok. Nyatanya, banyak hasil pembangunan yang kita nikmati,” Pakdhe Harjo kembali menukas.

“Wah, Pakdhe, kalo para pemimpin kita bekerja keras, negara ini sudah maju dari dulu… Mereka itu hanya mburu karepe dhewe, mementingkan kepentingan pribadi… Nggak pemerintahnya, nggak DPR-nya… sama saja,” ungkap Noyo.

“Lha itu, sekarang baru kebongkar, untuk memilih Dewan Gubernur saja, mereka terima dhuwit sampai ratusan juta rupiah, malah ada yang nganthongi miliaran rupiah… saciladh gedhadh [ba****an tenan],” kata Noyo makin bersemangat seiring dengan kian banyaknya cabe yang terkunyah.

“Makanya, tidak heran ya, Kang Noyo, kalo beban rakyat kecil seperti saya ini makin berat. Dana yang seharusnya dapat untuk memakmurkan rakyat digarong besar-besaran untuk kepentingan pribadi mereka ya…” ujar Dadap bernada ngompori.

“Benar itu, Kang Noyo dan Kang Dadap. Coba, kalau saja penyaluran anggaran pembangunan yang berasal dari pajak rakyat itu benar, belajar di sekolah atau perguruan tinggi negeri harusnya tidak semahal sekarang… Kita ini sudah terlalu liberal… Sudah menyamakan diri dengan negara maju, padahal pendapatan masyarakat masih terbelakang…” ujar Saragih, salah satu pelanggan angkringan, yang dari tadi hanya diam, mencoba menimpali pembicaraan.

“Tapi, katanya, sekarang ini cukup banyak tersedia bea siswa lho… apa sampeyan sudah mengupayakan agar Gembili bisa dapet bea siswa,” kata Pakdhe mencoba mengembalikan fokus pembicaraan.

“Siapa bilang, Pakdhe… nyatanya gak mudah untuk dapat bea siswa… butuh persyaratan ini dan itu… wis, pokoke repot lah…” jawab Dadap.
“Lha wong saya baca di koran, rektornya malah yang bilang agar masyarakat tidak perlu takut mengirimkan anaknya ke perguruan tinggi.

“Iya… di koran bilang begitu… Kenyataannya, begitu mau ndaftar saja sudah klêngêr… Harga formulir pendaftarannya saja, Kang, sudah ratusan ribu rupiah. Itu baru formulir pendaftaran… Belum menyiapkan syarat ini dan itu, misalnya legalisir akte kelahiran di Notaris, itu ya bayar lagi puluhan ribu rupiah… Duh Gustiii… pengen jadi orang pinter di negeri ini kok sulitnya bukan main to ya…”

“Lha nèk kula nggih êmpun pasrah mbiyèn-mbiyèn, Pak… Kulo niki lak ming asistèné Pakdhe Harjo sing ngladosi panjenengan sami… Sagêdé nggih mung nyekolahké têng Sekolah Dasar… êmpun cukup niku. Bar niku langsung kuliyah, maksude… dados kuli uyah… kerja kasaran… Lha ték na ajeng napa malih…” tutur Kang No tiba-tiba, yang mungkin tidak tahan mendengarkan pembicaraan tersebut.

“Wah.. Kang No… bahasanya jangan krama semua… bingung aku… ora dhong… macam mana pula… Apa maksudnya itu,” ujar Saragih bernada protes.

“Gini lho… Kang No itu hanya bisa pasrah dari dulu, karena dia sadar hanya bekerja sebagai pelayan di  angkringan ini dan hasilnya tidak seberapa, hanya cukup untuk hidup. Anaknya bisa sekolah SD saja sudah cukup. Lulus SD langsung kuliyah… maksudnya jadi kuli angkat garam, gitu…” kata Noyo.

“Hah hah ha ha ha… kuliyah, jadi kuli uyah… ha ha ha ha… Ada saja Kang No ini… Tapi, ya, begitulah… Saya yakin di negeri ini banyak anak pintar dan cerdas… Sayangnya, karena pemerintah tidak pintar dan cerdas, potensi anak-anak tersebut tidak tersalurkan dengan baik… akhirnya, yaa… banyak yang menjadi kuli uyah tadi… Menyedihkan…” ungkap Saragih.

Oleh Ahmad Djauhar
KETUA DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya