SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

M Fauzi Sukri, Bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin Solo (FOTO: Istimewa)

Dahulu orang Jawa tak mencari sekolah tapi mencari seorang guru. Yang diutamakan adalah mencari guru yang tepat untuk memperoleh ilmu dan mengembangkan watak mulia. Tampak aneh bahwa pikiran orang Jawa sekarang yang didahulukan dan diutamakan adalah sekolah atau universitas bahkan yang berlevel internasional kalau bisa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Banyak pencari ilmu tak tahu siapa gurunya, kepakaran gurunya, karakter gurunya, model kebiasaan pengajaran-pendidikan gurunya, bahkan namanya begitu mudah dilupakan. Memang orang Jawa sudah terseret jauh oleh arus modernitas.

Tak mengherankan jika dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 19 Desember 1956, Ki Hajar Dewantara mewanti-wanti,”Saja peringatkan di sini, bahwa hingga sekarang kita kenali istilah2 jang berhubungan dengan pemeliharaan pendidikan dan kebudayaan di djaman dulu.” Kata-kata itu diucapkan Ki Hajar Dewantara untuk memperingatkan bahwa selama ini ada semacam keterlupaan dalam sejarah ingatan kolektif dan keterputusan sejarah pengajaran-pendidikan di Jawa.

Dalam karya-karya para pujangga Jawa atau dalam kisah-kisah pewayangan masih ditemukan sebutan ”tjantrik”, “tjekel”, “mengudju” “djejanggan” atau sebutan untuk ”student2 putri” seperti ”mentrik”,  ”sontrang”, “dahjang,” juga nama-nama untuk guru besarnya, seperti ”dwijawara”, ”hadjar”, ”pendita”, ”wiku”, ”begawan”. ”Adanya istilah-istilah itu membuktikan bahwa di djaman dahulu sudah pernah ada perguruan2 luhur dengan aturan2 tata-tertib jang berdiferensiasi…” (Ki Hajar Dewantara, 1956: 36).

Pada Januari 1903 RA Kartini menulis Geef den Javaan Opvoeding! (Berilah Pendidikan pada Orang Jawa!), untuk membuat permohonan pembangunan sekolah dan guru modern ala Belanda untuk orang Jawa kepada pemerintah kolonial Belanda. Nota (pendidikan) Kartini bukan hanya sebuah permohonan sekolah dan guru tapi juga sebuah dokumen saksi tentang hilangnya guru dalam kebudayaan Jawa.

Pukau modernitas memang mau tak mau harus diakui Kartini, termasuk keunggulan sistem pendidikan-pengajaran Barat. Lahirnya Boedi Oetomo pada 1908 tidak lain daripada sebuah jawaban atas pencarian orang Jawa terhadap guru (meski yang ditemukan kemudian adalah [guru] model sekolah Eropa).

Gema permohonan Kartini untuk mengimani modernitas pengajaran-pendidikan Eropa masih diperdebatkan pada 5-7 Juli 1918 di Solo oleh dua orang Jawa terkemuka: Tjipto Mangoenkoesoemo, ”anak Si Kromo” dan Soetatmo Soerjokoesoemo yang kemudian menjadi ketua pertama Peguruan Taman Siswa.

Meski bingkai polemik kedua tokoh itu perihal nasionalisme Jawa di kubu Soetatmo dan nasionalisme Hindia Belanda di sisi Tjipto, tapi sebagaimana tema kongres, Pengembangan Kebudayaan Jawa, yang menjadi agenda rapat tahunan Boedi Oetomo, Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB) dan persatuan bekas murid OSVIA, kita bisa juga membacanya sebagai polemik orang Jawa mencari guru.

Dalam polemik, meski kedua tokoh itu kembali ke dalam kehidupan wayang sebagai dasar kebudayaan-pendidikan, keduanya mengajukan dua model karakter yang berbeda. Soetatmo mengajukan tokoh pandhita sedangkan Tjipto mengajukan tokoh satria.

”Dunia pergerakan adalah dunia para satria; tetapi satria yang hidup dalam dunia pergerakan, tidaklah selalu seorang satria sejati, malah kadang-kadang ada satria maling, yaitu mereka yang didorong oleh keserakahan sendiri. Jadi, apa yang menurut Soetatmo sangat mendesak untuk dilakukan ialah: menerima peran seorang pandita yang dapat mendidik seorang satria sejati,” kata Shiraishi (dalam Akira Nagazumi, 1986: 184) saat mengulas kembali pemikiran Soetatmo. Soetatmo memberikan alasan historis dan pedagogis untuk menerima peran seorang pandhita yang kelak coba direalisasikan dalam Perguruan Taman Siswa dengan sistem among.

Soetatmo mengatakan,”Di waktu dahulu, sampai zamannya generasi kakek-kakek kita, orangtua biasa mengirim putranya ke tempat kediaman seorang pandhita untuk memperoleh pendidikan atau gemblengan budi pekerti… Bagi seorang anak, tinggal pada pandhita pasti jauh lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan mendapatkan pelajaran budi pekerti di sekolah yang diberikan setiap hari oleh seorang guru biasa. Sebab, kekuatan moral pandhita yang sekalipun tak kelihatan…mampu memberikan pendidikan budi pekerti kepada anak-anak.” Yang sangat penting di sini adalah kedekatan hubungan lahiriah dan batiniah antara pandhita dan murid sebagai pengajaran-pendidikan moral. Yang diingat oleh siswa bukanlah apa yang diajarkan gurunya tapi apa yang dilakukannya.

 

Ksempurnaan Batin

Model pengajaran-pendidikan pandhita ini menurut Soetatmo mampu memberikan kesempurnaan batin, watak dan akhlak bagi sang murid melalui penyingkapan intisari kebudayaan Jawa: Keindahan mengendalikan kekuasaan, kekuasaan memiliki keindahan, kearifan memberikan hak kekuasaan. Dan itu tidak bisa didapatkan dalam sistem pengajaran-pendidikan Barat yang lebih menekankan intelektualitas dan materialistis, meski tentu saja Soetatmo tidak menolak ilmu pengetahuan dan teknologi Barat (Takashi Shiraishi dalam Akira Nagazumi, 1986).

Jika Soetatmo kembali ingin menghidupkan peran pandhita maka Tjipto sebaliknya langsung mengarahkan ”konsep pendidikan” pada laku diri sebagai satria. Dengan ini Tjipto mengkritik bahwa pandhita sudah tidak ada lagi dalam masyarakat Jawa. Maka yang lebih penting untuk ditekankan adalah keteguhan niat, kebulatan tekad dan kesabaran dalam menghadapi tantangan dan rintangan: hal-hal yang akan menjadikan seseorang satria, seperti Pangeran Diponegara, tokoh panutan Tjipto.

Dalam hal ini, Tjipto mencontohkan watak Abimanyu saat menghadapi kakeknya yang sekaligus jadi gurunya. Kata kakeknya,”Aku tahu, aku tak percuma telah mengajarmu sifat-sifat luhur seorang satria. Aku dapat melihat kesatriaanmu dalam ketetapan hatimu yang tidak bisa hilang lagi biar ada kesulitan apa pun. Tidak, engkau akan menemukan sebuah pemacu yang kuat agar dapat berusaha lagi setiap kali engkau mendapatkan kesulitan dan ketetapan hatimu akan semakin kuat. Sekali lagi engkau akan membawa nama harum bagi golonganmu berkat ketetapan hatimu” (Takashi Shiraishi dalam Akira Nagazumi, 1986: 185).

Keteguhan untuk terus berjuang belajar, ngelmu laku ksatrian, dalam memperbaiki masyarakat dengan menjadi satria.  Bisa dikatakan bahwa Soetatmo lebih mengarahkan konsepnya pada peran moral guru, sedangkan Tjipto lebih fokus pada watak murid. Tapi, dalam konteks Indonesia (Jawa) setelah kemerdekaan dan setelah sekolah bertumbuh di mana-mana di Jawa, saya melihat bahwa peran guru dan murid tidak seperti pemikiran dua tokoh itu.

Gagasan Soetatmo barangkali masih bisa kita temukan di awal perkembangan Taman Siswa yang pernah dipimpinnya selama dua tahun atau sampai dia meninggal pada 1924. Untuk mengembalikan pandhita di tanah Jawa, Taman Siswa mewajibkan tapa brata atau askese sebagai salah satu inti perguruan bagi mereka yang akan menjadi guru.

Dan Gadjah Mada (nama samaran Ki Soedyono Djojopraitno) dalam tulisan Didiklah Kamu Sendiri yang terbit  Oktober 1931- Juni 1932 menyatakan bahwa guru Taman Siswa harus selalu mendidik diri sendiri. Gadjah Mada juga mengajukan beberapa pertanyaan pada calon guru yang harus dijawab sendiri dengan jujur seperti: Siap mengorbankan diri dalam menjadi guru atau mencari kerja? Mendahulukan kepentingan sendiri atau anak didik? Apakah sungguh memiliki sifat kerakyatan atau ningrat-feodal? Memandang murid sebagai anak sendiri atau tidak? Dan sebagainya. Maka pada dasarnya menjadi guru adalah menjadi pandhita-satria (dalam Kenji Tsuchiya, 1986: 203-205).

Tapi dalam Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo yang kemudian menyulut polemik kebudayaan dari Oktober 1935-April 1936, diskursus peran guru sudah ditinggalkan dan lebih fokus pada sistem dan isi pengajaran-pendidikan, antara mengikuti roh pengajaran-pendidikan Barat atau Timur. Dan sekarang perkembangan peran guru lebih ditentukan oleh organisasi sekolah yang lebih banyak dikendalikan oleh kepentingan penguasa pemerintah (juga ekonomi).

Guru lebih banyak sebagai guru negara (dan lembaga ekonomi) daripada guru bagi muridnya. Dan askese dan keyakinan diri sebagai pandhita-satria perlahan memudar. Guru tak lebih sekadar menyampaikan keyakinan yang berada di luar dirinya. Orang Jawa kehilangan guru, guru lebih sebagai guru untuk pemerintah daripada bagi murid-muridnya.

Perkataan pendidikan berpusat pada guru (teacher based learning) sebenarnya istilah yang kurang pas dalam ruang kelas, lebih tepatnya adalah curriculum based learning yang sudah dipatok oleh pemerintah atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau oleh pamrih ekonomi. Kemudian tampil juga model pengajaran yang difokuskan pada muridnya (student based learning), yang semakin menghilangkan guru tapi tak ditemukan watak Abimanyunya Tjipto. Yang ada bukan guru lagi, tapi hanya kurikulum  atau teknologi, yang biasanya akan terus berganti sepanjang pergantian menteri sektor pendidikan dan teknologi.

Maka, meminjam perkataan filsuf Inggris Bertrand Arthur William Russell (1991: 3) dalam esainya, Fungsi Guru, tiap guru di zaman modern, yang diilhami oleh cita-cita ideal para pendahulunya, sekarang cenderung dikejutkan oleh kenyataan bahwa fungsinya bukan lagi untuk mengajarkan apa yang diyakininya, melainkan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan [bahkan] serta kebodohan-kebodohan yang dipandang berguna oleh mereka yang memerintahnya. Kita mungkin tak sadar telah kehilangan guru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya