SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Minggu terakhir menjelang Lebaran, angkringan Pakdhe Hardjo mulai terlihat sepi. Maklum, sejumlah mahasiswa dan karyawan yang biasa menjadi pelanggannya sebagian besar sudah mudik ke kampung halaman mereka masing-masing. Hanya tinggal member setia seperti Suto, Noyo, Mas Sugeng, Lek Saridin dan Mas Ginting yang terlihat standby.

“No, bakarke tahu telu yo, ngombene teh panas wae,” ujar Suto begitu tiba di warung angkringan. Belum lagi pantatnya menyentuh kursi panjang yang tersedia, tangan Suto langsung meraih bungkusan nasi sambel yang tertata.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Welah tumben langsung makan, biasanya ngrokok dulu baru makan, istrimu tidak masak ya,” celetuk Lek Saridin.

“Iya tumben-tumbenan kamu seperti orang kelaparan,” Noyo menimpali.

“Anu je, istriku ngantar anak-anak ke Malioboro, biasa, mau Lebaran, anak-anak minta baju baru, jadi tadi ndak sempat masak untuk buka puasa,” ujar Suto.

“Wah kamu enak To, habis menerima THR, jadi langsung bisa nuruti penjaluke anak-anak, lha seperti aku ini, mung buruh serabutan, sopo sing arep menehi THR,”  ujare Lik Saridin.

“Penak piye tho Lek, lha wong THR yo langsung habis, sampeyan tahu sendiri, setiap menjelang Lebaran, harga-harga langsung mumbul. Beras, gula, cabai, daging ayam, daging sapi. Pokoknya semua harga naik, bikin pusing,” ujar Suto mulai menggerutu.

“Heee…heeee..aku kira cuma aku saja yang pusing, ternyata kau juga pusing,” celetuk Mas Ginting yang duduk di pojokan menimpali.

“Memang, setiap mau Lebaran, wis mesthi harga langsung ora umum mundhake. Wis ngono, pemerintah ya kayaknya lepas tangan tak mau tanggungjawab menurunkan harga. Paling-paling bisanya ya cuma melakukan razia, ngecek ada barang yang kedaluwarsa atau tidak, ada daging glonggongan yang beredar ndak, ada yang jual mercon ndak. Kalaupun melakukan operasi pasar, beras yang dijual juga kualitasnya tidak baik, ambune apeg,” ucap Mas Sugeng.

Untuk urusan mengkritik kebijakan pemerintah, Mas Sugeng memang jagonya. Maklum dia dulu bekas aktivis mahasiswa yang suka demo-demo, terutama mendemo kebijakan kampus yang dianggap tidak pro mahasiswa melarat. Kerjanya saat ini di sebuah LSM juga tak jauh dari urusan mengkritisi kebijakan pemerintah.

“Mungkin terlalu banyak yang dipikirkan pemerintah, sehingga tak sempat memikirkan harga sembako yang membumbung tinggi,” celetuk Noyo yang masih sibuk ngrikiti ceker dan kepala ayam kesukaannya.

“Sibuk surat-suratan dengan Nazaruddin barangkali, kan demi menyelamatkan partai dan konco-konconya, iya betul begitu tho Mas Sugeng,” timpal Mas Ginting mencoba meminta pembenaran dari pendapatnya.

“Setuju, para pejabat, petinggi pemerintah hanya sibuk mengurusi partai politik yang mengusung mereka, jadi teledor lupa mengurus perut dan kebutuhan rakyatnya. Buktinya jelas, ngurus uyah saja menterinya Pak Esbeye malah gontok-gontokan sendiri kok, opo maneh ngurusi beras, daging, lombok, bumbon dan tetek bengek lainnya,” cerocos Mas Sugeng.

“Hee..heee, kalau mikir harga yang tak jelas seperti sekarang ini memang bikin pusing. Belum lagi harus ngurusi masyarakat yang ingin mudik berlebaran, sudah pasti, pemerintah bakal tambah pusing. Ngurusi angkutan Lebaran, ngurus tarif angkutan umum yang naiknya tak ketulungan, ngurus jalan yang macet, ngurusi PNS yang bolos sakkarepe dewe, wis kabeh makin ora cetho, Pak Beye mesti tambah mumet,” ujar Suto.

“Iya ini, aku kena imbasnya juga, gara-gara semua tiket kereta api sudah ditangan calo, aku juga tak kuat beli, gagal pulang ke rumah mertua di Surabaya,” celetuk Mas Ginting tak mau kalah.

“Wis kalau membicarakan jeleknya pemerintah ra ono enteke, apalagi ngurusi harga, Pasti pusing sendiri. Jadi wong cilik seperti kita ini bisanya ya cuma nrima, manut dengan kondisi dan keadaan, pasrah dengan pasar, lha mau gimana lagi, sing penting isih iso ngebon neng angkringane Si No, iya tho No,” ujar Noyo.

“Hee..heee, leres Pakde, tapi kok ujung-ujungnya mau ngebon lagi, ini saya juga mau mudik je, mosok sampeyan mau ngebon lagi,” ujar Si No membenarkan sekaligus memprotes kalimat terakhir Noyo.

“Iya mas, mosok sampeyan tega ngebon Si No yang besok mau mudik Lebaran, lha njuk sangune piye yo No kalau dagangane di bon,” kelakar Suto menimpali.

“Iya, mengko tak bayar kontan, tenang wae, aku kan sudah ambil pensiunan kemarin.”

“Lhah, untuk urusan dana pensiunan dan gaji ke-13 seperti ini, Pak Beye cekatan, ini memang urusannya sama pencitraan, apalagi kalau bukan untuk 2014, iya tho Mas Ginting,” celoteh Mas Sugeng lagi.

“Wis lah, kita sebagai rakyat hanya bisa manut, mau harga naik membumbung, mau arep tarif angkutan naik tigaratus persen, kalau seperti kita yang protes tak bakalan didengar pemerintah. Lha wong wakil kita di DPR saja juga tak mau mendengar kok,” keluh Suto.

“Sabar mas, tunggu saja sampai 2014,” celetuk Si No sok bijak.

“Emang ada apa 2014 nanti No,” tanya Mas Sugeng.

“Hee..heee, anu mas, mungkin saja nanti ada satriya piningit yang njedul jadi pemimpin, sehingga uripe rakyat cilik seperti kita ini akan lebih diperhatikan dan lebih baik,” ujare si No.



“Ngimpi kamu No, jaman sekarang kok masih nunggu satriya piningit,” protes Mas Sugeng.

”Ya namanya wong cilik mas, bisanya ya cuma mimpi, mumpung mimpi belum mbayar,” iya tho Lek.

”Hmmmm, bener, aku setuju pendapatmu No, wis wong cilik seperti kita ini bisanya cuma nrima dan berharap ada pemimpin yang benar-benar bisa mensejahterakan rakyatnya, atau minimal bisa mengendalikan harga,” pungkas Lek Saridin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya