SOLOPOS.COM - Penampilan Music Plus, salah satu band pelestari Koes Plus, saat tampil di pergelaran Koes Plus Mania di THR Sriwedari, Solo, Senin (3/2/2014). (Mahardini Nur Afifah/JIBI/Solopos)

Penutupan THR Sriwedari dinilai jadi catatan kelam hilangnya ruang rekreasi dan nglaras bagi warga Solo.

Solopos.com, SOLO — Taman Hiburan Remaja (THR) sudah menjadi wahana permainan yang ikonik di kawasan Sriwedari, Solo. Keputusan manajemen menutup THR untuk selamanya setelah Pemerintah Kota (Pemkot) Solo tidak memperpanjang masa sewa menjadi keprihatinan dan disesalkan banyak pihak.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Salah seorang pemerhati sejarah Solo, Heri Priyatmoko, mengatakan THR sudah menjadi ikon dan lokasi wisata murah yang dikenal di Soloraya. Keputusan pengelola THR untuk berhenti beroperasi laksana petir di siang bolong bagi masyarakat Soloraya, khususnya bagi mereka yang memiliki kenangan indah bersama taman hiburan tersebut.

Ia menilai kebijakan Pemkot Solo untuk membangun fasilitas ibadah (masjid) di Kebonraja Sriwedari menafikan sederet komunitas yang ada di sana. “Jelas banyak kelompok yang sedih, kecewa, dan kehilangan tempat rekreasi yang murah. Ada sederet komunitas yang tidak dipertimbangkan Pemkot dalam pembangunan masjid tersebut,” ungkapnya kepada Solopos.com, Senin (16/10/2017).

Beberapa komunitas yang terbentuk di THR Sriwedari antara lain komunitas penyuka tembang kenangan, lagu keroncong, dan campursari hingga kelompok pecinta musik dangdut. Hiburan yang selama ini digelar di taman di tengah Kota Bengawan itu dinilai laksana obat bagi rasa penat akibat setumpuk pekerjaan dan krisis ekonomi yang kian menerpa.

“Bisa dibayangkan bagaimana nasib komunitas tersebut jika gelaran musik itu dihapus lantaran lokasi harus dikosongkan. Para pemain musik yang menempatkan Sriwedari sebagai ajang latihan sekaligus memenuhi kebutuhan hidup pasti akan terganggu,” katanya.

Ia mengutarakan tutupnya THR menambah catatan kelam menyusutnya ruang rekreasi dan nglaras bagi masyarakat Solo. Hal itu tentu memiliki dampak yang luas di kalangan masyarakat. Sementara itu, sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Tunjung Wahadi Sutirto, juga berharap kelestarian THR.

Ia menilai tempat paling pas sebenarnya adalah Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) karena membuat lokasi itu menjadi pusat rekreasi terintegrasi. “Kalau alasan pengelola THR adalah sewa mahal dan pajak yang tinggi, apa tidak ada model pengelolaan dengan sistem sharing?” kata dia.

Jika benar masalah sewa dan pajak jadi kendala, THR bisa saja menggunakan lokasi lain semisal Solo utara. Daerah itu kelak bisa menjadi daerah yang prospektif karena akses jalan yang luas.

“Pindah ke Solo utara sekaligus memberi keseimbangan polarisasi demografis sehingga mengurangi tekanan sosiologis terhadap Solo bagian tengah,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya