SOLOPOS.COM - Pj Wali Kota Budi Suharto meninjau salah satu showroom permata di kampung pertama Jayengan, Serengan, Minggu (18/10/2015). (Ivanovich Aldino/JIBI/Solopos)

Wisata Solo, Kampung Jayengan, Serengan, resmi menjadi kampung permata di Solo.

Solopos.com, SOLO–Lelah tak bisa disembunyikan dari wajah Yusuf Ahmad Alkatiri, Minggu (18/10/2015). Selama tiga hari terakhir, kesibukan pengusaha batu mulia ini diisi dengan persiapan peluncuran Jayengan Kampung Permata (JKP).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Capai sekali. Sudah tiga hari ini tidur dini hari,” tutur Ketua Forum Jayengan Kampung Permata tersebut saat berbincang di showroom miliknya di Jl. Gatot Subroto, Jayengan, Serengan.

Meski lelah, namun kelegaan jelas terpancar dari wajah Yusuf yang siang itu terlihat sedang bersantai di toko miliknya. Acara pembukaan JKP yang dihadiri Pj. Wali Kota Solo Budi Suharto, anggota Komisi XI DPR Mohammad Hatta, serta sejumlah pejabat di lingkup Muspida Kota Solo berjalan sesuai rencana.

Ekspedisi Mudik 2024

“Sebagai generasi kelima pengrajin batu permata, saya lega akhirnya Jayengan Kampung Permata bisa diresmikan. Gagasan ini sudah muncul sejak leluhur kami mulai tinggal di kawasan ini,” terangnya.

Yusuf lantas mengisahkan awal berdirinya Kampung Jayengan bermula dari kedatangan pengrajin batu permata asal Martapura yang acapkali diundang ke Solo untuk membuat perhiasan keluarga istana. Sejak 1910 silam, sejumlah pengrajin yang umumnya tinggal di Solo selama beberapa pekan akhirnya menetap di kampung yang berada tak jauh dari Keraton Solo itu.

“Dari situ banyak orang Banjar yang umumnya pengrajin batu mulia dan perhiasan yang menikah dan menetap di sini. Tak heran kalau di sini ada asimilasi budaya Banjar-Jawa. Saya termasuk keturunan Banjar-Jawa,” ungkapnya.

Setelah ratusan tahun berjalan, menurut Yusuf, warga seputaran Jayengan banyak yang masih mempertahankan tradisi menghias dan berdagang batu mulia serta perhiasan. Dari sekitar 500 pengrajin dan pedagang batu mulia serta perhiasan, baru dua pengrajin yang memiliki kios untuk menjajakan batu mulia.

“Umumnya mereka tak punya showroom. Pedagang hanya berjualan dari mulut ke mulut di wedangan sedangkan pengrajin menggosok batu di rumah. Sebagian dari mereka lemah di bidang pemasaran,” bebernya.

Berawal dari kegelisahan tersebut, ia bersama anggota Forum JKP menggandeng akademisi dari UMS dan UNS Solo untuk mengembangkan kampung kreatif. Sokongan perpaduan budaya Jawa-Banjar yang unik serta keterampilan mengolah batu mulia menjadi benda bernilai puluhan juta rupiah menjadi modal awal bagi mereka membuat kampung permata.

“Kami punya mimpi. Lima tahun ke depan, dengan poros kegiatan di Masjid Darussalam, rencananya kami buat bangunan tiga lantai. Lantai pertama dipakai untuk kios pengrajin, pedagang permata serta perhiasan, serta sentra kuliner khas Jayengan. Lantai atasnya dipergunakan sebagai masjid serta ruang kajian dakwah. Jayengan hidup tak lepas dari agama,” tutur dia.

Soal keunikan kerajinan batu mulia dan perhiasan khas Jayengan, pengrajin yang menghasilkan omzet rata-rata Rp500 juta/bulan ini membeberkan desain perhiasan khas kampungnya lebih kaya ornamen dibandingkan tanah leluhurnya asli Martapura.
“Di sana [Martapura] cenderung tradisional. Kalau di sini lebih variatif modelnya. Semuanya handmade dan punya penggemar sendiri-sendiri. Kami siap jadi Martapura II,” akunya.

Secara terpisah, Kepala Dinkop dan UMKM Kota Solo, Nur Haryani, mengatakan pihaknya siap mendukung kegiatan pengrajin yang ada di JKP. “Solo punya 2.930 pelaku UMKM. Di sini ada potensi ekonomi produktif. Kami akan mendukung pengrajin yang ada di sini,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya