SOLOPOS.COM - Budayawan Taufik Rahzen (depan kanan) menjadi pemantik diskusi dalam Jagongan Solo Slow City di Galeri Pakem, Pasar Kembang lantai II Kamis (13/7/2016). malam. (Chrisna Chanis Cara/JIBI/Solopos)

Wisata Solo diharapkan tetap berkembang tanpa meninggalkan identitas kota.

Solopos.com, SOLO — Kehidupan kota yang serba cepat dan instan dianggap mulai menggerus nilai peradaban dan kualitas hidup. Di Solo, sejumlah pegiat kota memelopori gerakan slow city untuk mengembalikan kehidupan sesuai ritme dan keseimbangannya.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Diskusi mengenai slow city mengemuka dalam Jagongan Solo Slow City di Galeri Pakem, Pasar Kembang lantai II, Kamis (13/7/2016) malam. Budayawan Taufik Rahzen yang menjadi pemantik diskusi menyebut Solo sangat tepat dikembangkan sebagai slow city. Menurut Taufik, Kota Bengawan telah memiliki akar slow city lewat tradisi dan budaya warga.

“Slow city jangan dimaknai kota yang lambat dan minim produktivitas, tapi sebuah kota yang meletakkan kehidupan pada iramanya. Dengan demikian akan muncul keseimbangan sosial dan hidup yang bermakna,” ujarnya.

Dia melihat kota-kota di Indonesia mulai kehilangan nilai peradaban lantaran penduduknya terkungkung dalam budaya instan, konsumerisme dan pragmatisme. Menurut Taufik, Solo dapat melawan kecenderungan tersebut dengan potensi yang dimiliki. Selain budaya dan tradisi, Solo memiliki modal sosial dari fasilitas publik yang mulai dibangun pada masa Paku Buwono (PB) X dan Mangkunegara VII.

“Pasar-pasar tradisional di Solo dapat menjadi awal memaknai slow city. Bagaimana kita menghargai proses merangkai bunga di Pasar Kembang, mengamati barang antik secara seksama di Pasar Triwindu, menyimak lomba burung berkicau di Pasar Burung dan lain sebagainya,” kata mantan jurnalis tersebut.

Slow Tourism

Dari segi kuliner, Taufik menyebut Solo juga memiliki modal dengan banyaknya angkringan atau hik. Dia mengatakan aktivitas di hik yang cair memungkinkan penjual dan pembeli berinteraksi. Pembeli juga dapat melihat proses penghidangan masakan. “Solo sebenarnya sudah punya modal menjadi slow city. Sekarang tinggal bagaimana mengubah cara pandang warga.”

Di dunia, ada sebanyak 140 kota yang berpredikat slow city. Dari jumlah itu belum ada satupun kota di Indonesia yang tercatat. Menurut Taufik, Solo dapat mengawali slow city di Indonesia dan dikembangkan agar berdampak ekonomi lewat pariwisata.

“Slow city dapat menawarkan slow tourism yang mengedepankan rekreasi dan pembelajaran. Jadi tak sekadar berwisata, tapi ada kepuasan batin. Di kota-kota slow city, slow tourism justru diincar wisatawan berduit karena cenderung berbiaya tinggi.”

Peserta diskusi dari Sanggar Seni Sekar Jagat Sukoharjo, Joko Ngadimin, sangat tertarik dengan konsep slow city. Menurutnya, konsep itu dapat mengembalikan pamor pasar tradisional di tengah kepungan toko modern.

“Pasar menjadi pusat peradaban dengan didukung tradisi serta konsumsi produk-produk lokal,” ujarnya.
Pegiat Solo Creative City Network (SCCN), Irfan Sutikno, menilai konsep slow city orisinal karena berangkat dari apa yang dimiliki Kota Solo. Irfan sependapat ada kecenderungan kota-kota dilanda budaya seragam dan minim karakter.

“Branding sebuah kota perlu diisi ruh yang benar-benar kita punya.”

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya