SOLOPOS.COM - Panorama Telaga Ngebel, Ponorogo. (Septina Arifiani/JIBI/Solopos.com)

Wisata Ponorogo tak bisa dipisahkan dari danau alam yang kondang dengan sebutan Telaga Ngebel di lereng Gunung Wilis.

Madiunpos.com, PONOROGO — Telaga Ngebel bukan hanya menampung 24 juta m3 air yang berguna untuk pembangkit tenaga listrik, perternakan ikan, dan pengairan tanaman warga sekitar. Danau alam nan cantik di kaki Gunung Wilis, tepatnya di wilayah Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo yang sejak 2008 silam dikembangkan sebagai objek daya tarik wisata Ponorogo itu juga menyimpan legenda lama yang berbau mistis soal sesosok naga bernama Baru Klinting.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kendati jalinan cerita utamanya mengisahkan tentang Baru Klinting yang memberikan pelajaran kepada warga sekitar agar tidak sombong, namun asal mula Baru Klinting muncul dalam beberapa versi cerita mistis. Satu versi folklore atau cerita rakyat itu menyebutkan Baru Klinting sebagai jelmaan Patih Kerajaan Bantaran Angin yang sedang bermeditasi dalam wujud ular. Ada pula folklore yang mengaitkan Baru Klinting anak sepasang suami istri lahir dalam wujud ular naga.

Versi pertama asal muasal Baru Klinting itu bahkan tercatat dalam ensiklopedia online Wikipedia yang dipantau Madiunpos.com, Minggu (4/10/2015). Disebutkan dalam kutipan cerita rakyat itu bahwa ular naga jelmaan Patih Kerajaan Bantaran Angin tersebut secara tak sengaja tertangkap seorang warga yang kemudian membawanya ke desa.

Sesampainya di desa, ular jelmaan tersebut hendak dijadikan makanan karena ukuran tubuhnya yang besar. Sebelum dipotong ular tersebut secara ajaib menjelma menjadi anak kecil, yang kemudian mendatangi masyarakat dan memutuskan membuat sayembara. Sang bocah menancapkan lidi di tanah lalu menantang warga setempat untuk mencabutnya kembali. Versi lain, sebagaimana dikutip Wikipedia dari Today.co.id, menyebutkan yang ditancapkan bocah itu adalah centong nasi.

Tidak ada seorang warga pun yang berhasil mencabutnya, hingga akhirnya bocah ajaib itulah yang berhasil mencabutnya kembali. Dari lubang bekas ditancapkannya lidi atau centong tersebut keluarlah air yang kemudian menjadi mata air yang menggenang hingga membentuk sebuah telaga yang kini terletak sekitar 30 km dari pusat Kota Ponorogo. Oleh penduduk desa sekitarnya, telaga tersebut diberi nama telaga Ngebel yang artinya telaga dengan bau menyengat.

Ngembel Jadi Ngebel
Versi berbeda asal-usul Telaga Ngebel dicatatkan Muh. Nur Huda, blogger asal Temon Ponorogo dalam Arembha.blogspot.co.id. Menurutnya, “Ngebel” berasal dari istilah bahasa Jawa “ngembel” yang artinya “berair”. Bukan terkait dengan Patih Kerajaan Bantaran Angin sebagaimana versi Wikipedia, folklore yang ia dapatkan dari cerita pendahulunya terkait dengan seorang wara’i atau orang yang sakti ilmu kanuragan dan ilmu agama.

Suatu waktu, wara’i itu melewati suatu daerah di kawasan Ponorogo dan melihat fenomena tanah yang berair itu. Maka sang wara’i pun berujar, “Ana sak wijining jaman, tlatah iki kasebut Ngembel [Suatu saat daerah ini bernama Ngembel],” kutipnya. Tapi karena lidah yang salah kaprah dalam waktu yang lama dan turun temurun, maka kata “ngembel” pun, menurut Nur Huda, selanjutnya berubah menjadi “ngebel”.

Nur Huda juga mencatat versi lain kisah Baru Klinting. Menurut dia, sebagian masyarakat Ngebel percaya pada zaman dahulu, ada sepasang suami istri yang memiliki anak seekor ular naga. Naga itu diberi nama Baru Klinting.

Menyadari keanehan wujud Baru Klinting, suami istri itu tak berani tinggal di kampung halaman mereka karena khawatir menjadi bahan gunjingan tetangga.Mereka pun mengungsi ke puncak gunung untuk mengasingkan diri dan memohon kepada dewa agar mengembalikan rupa putra mereka ke wujud manusia.

Bertapa 300 Tahun
Doa itu pun didengar. Syarat yang harus dilakukan oleh Baru Klinting untuk berubah wujud laksana manusia adalah melakukan pertapaan selama 300 tahun dengan cara melingkarkan tubuhnya di Gunung Semeru.

Sayangnya, panjang tubuh Baru Klinting kurang sejengkal untuk bisa melingkari seluruh gunung. Maka, demi menutupi kekurangan itu, ia menjulurkan lidahnya sehingga menyentuh ujung ekornya.

Rupanya, syarat untuk menjadi manusia bukan hanya itu. Dewa meminta ayah si Baru Klinting memotong lidah putranya yang sedang bertapa tersebut. Baru Klinting yang bersemedi tak menolak, toh demi kebaikannya agar menjadi manusia.

Saat waktu bertapa hampir selesai, ada kepala kampung yang akan menikahnya anaknya. Kepala kampung pun sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, terlebih lagi soal hidangan.

Konon, mereka akan menggelar pesta pernikahan yang sangat mewah dan sangat besar. Demi menutupi kekurangan bahan makanan, secara sukarela warga membantu sang kepala kampung berburu di hutan. Ada yang mencari buah-buahan, ranting/kayu bakar hingga hewan buruan, seperti rusa, kelinci, maupun ayam hutan.

Sudah beberapa lama warga berburu, namun tak mendapatkan hasil buruan apapun. Tanpa sengaja, ada warga yang beristirahat karena lelah berburu mengayunkan parangnya pada pokok pohon tumbang. Namun, alangkah kagetnya mereka ternyata parang itu malah berlumuran darah.

Jadi Hidangan Pesta
Dari pokok pohon tumbang itu mengucur darah segar. Bahkan, mereka baru sadar kalau yang mereka tebas tadi bukan pohon tumbang tetapi ular raksasa atau ular naga. Menyadari hal ini, warga pun beramai-ramai mengambil dagingnya untuk dimasak sebagai hidangan pesta pernikahan tersebut.

Hari pesta pernikahan anak kepala kampung adalah hari berakhirnya pertapaan Baru Klinting. Benar saja, naga itu berubah wujud menjadi anak kecil. Sayangnya, si anak mengalami kesusahan dalam berbicara karena lidanya dipotong sebagai syarat menjadi manusia. Bukan hanya itu, tubuhnya penuh dengan borok yang membusuk lantaran saat bertapa tubuhnya disayat-sayat untuk diambil dagingnya oleh warga sebagai bahan pesta.

Anak berborok yang tak kuasa bicara sempurna itu pun mendatangi pesta kepala kampung. Ia kelaparan dan memohon agar diberi makanan. Namun, tak satu pun warga yang memedulikannya. Warga malah mengejek dan mengusir anak kecil itu.

Melihat nasib anak itu, seorang wanita tua merasa kasihan dan membawanya pulang. Lalu si anak diberi makan dengan lauk berupa daging yang diterima dari pesta kepala kampung. Si anak pun makan dengan lahap, tapi dia tak mau memakan daging itu.

“Bu, tadi saya pikir sudah tak ada lagi orang baik di kampung ini. Rupanya, masih ada orang seperti Anda. Bu tolong siapkan lesung [kayu tempat menumbuk padi] bila terjadi sesuatu ibu segeralah naik lesung tersebut,” tutur Baru Klinting selesai makan.

Dasarnya Menyempit
Tanpa banyak, wanita tua itu pun menuruti ucapan Baru Klinting. Sementara bocah jelmaan ualr naga itu kembali ke tempat pesta, ia lalu menancapkan lidi ke tanah dan selanjutnya membuat sayembara untuk diikuti warga yang mampu mencabut lidi tersebut.

“Wahai warga semua, lihatlah di tanganku. Aku memiliki sekerat daging. Jika kau mampu memenangkan sayembara yang kuadakan, maka ambillah daging ini. Namun, jika kalian tak mampu, maka berikanlah semua daging yang kalian masak kepadaku,” tantang Baru Klinting.

Warga pun mencoba satu persatu tapi semuanya tak mampu mencabut lidi tersebut. Sayangnya, mereka juga tak mau mengembalikan daging yang telah mereka masak.



“Lihatlah ketamakan kalian wahai manusia. Lihatlah ketidakpedulian kalian pada sesama, pada manusia yang cacat sepertiku. Bahkan kalian tidak mau mengembalikan hakku! Ketahuilah, daging yang kalian masak itu adalah dagingku saat aku menjadi ular naga. Maka, kalian berhak mendapatkan balasan setimpal!” ujar Baru Klinting seraya mencabut lidi tersebut.

Keanehan pun terjadi, dari lubang bekas lidi itu tertancap itu terus menerus mengucur air yang akhirnya menenggelamkan kampung tersebut. Genangan air itupun berubah menjadi telaga, Sedang wanita tua yang memberi makan Baru Klinting selamat karena bisa berperahu lesung.

Baru Klinting selanjutnya berubah lagi menjadi ular dengan melingkarkan tubuhnya di dasar Telaga Ngebel yang bentuknya menyempit di bagian bawah.

Penyucian Diri
Selain menjadi salah satu daya tarik wisata utama Kabupaten Ponorogo, keberadan Telaga Ngebel juga tercatat sebagai bagian penting dalam sejarah Kabupaten Ponorogo. Konon, Batoro Katong, salah seorang pendiri Kabupaten Ponorogo terlebih dulu menyucikan diri di danau alam tersebut sebelum melakukan syiar Islam di Kabupaten Ponorogo.

Itulah sebabnya, menurut Wikipedia, mata air di dekat Telaga Ngebel hingga kini dikenal sebagai Kucur Batoro. Selain Kucur Batoro, air Telaga Ngebel juga dipasok sejumlah mata air lain. Sumber air yang cukup deras justru berasal dari Kanal Santen. Ada pula sungai yang berhulu di air terjun Toyomarto yang bermuara di danau alam yang kini menjadi salah satu daya tarik wisata Ponorogo tersebut.

 

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Madiun Raya

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya