SOLOPOS.COM - Larung tumpeng buceng lanang di Telaga Ngebel sebagai bagian Grebeg Suro 2015 Ponorogo, Rabu (14/10/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Destyan Sujarwoko)

Wisata Ponorogo ditandai even tahunan larung sesaji di Telaga Bgebel sebagai pemuncak kegiatan akbar Grebeg Suro 2015.

Madiunpos.com, PONOROGO — Ritual larung sesaji oleh masyarakat adat di delapan desa sekitar Telaga Ngebel, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Rabu (14/10/2015), berlangsung meriah. Larung sesaji yang merupakan pemuncak hajatan akbar Grebeg Suro 2015 itu sarat mengandung pesona wisata Ponorogo.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Ribuan warga dan wisatawan dilaporkan Kantor Berita Antara tumpah-ruah di tepian Telaga Ngebel demi menyaksikan detik-detik pelepasan buceng lanang sebelum dilarung ke tengah danau alami yang terletak di lereng Gunung Wilis itu. Bukan hanya melihat prosesi larung, sebagian wisatawan dan warga juga ikut berebut tumpeng buceng wadon yang berisi aneka buah-buahan dan hasil bumi di depan paseban utama Telaga Ngebel.

Menurut sesepuh adat setempat, Dwijo Abdinagoro, prosesi larungan yang digelar rutin setiap tahun sekali dan digelar setiap 1 Sura atau awal tahun Jawa. Momentum 1 Sura yang merupakan awal tahun bertarikh Jawa itu ditulis Kantor Berita Antara sebagai 1 Muharam, awal tahun bertarikh Hijriah.

Meskipun mengaitkan kegiatan itu dengan awal tahun bertarikh Hijriah, Kantor Berita Antara secara tak konsisten menyebut acara larungan itu sebagai puncak rangkaian kegiatan akbar yang disebut garebek Sura. Garebeg atau perayaan besar bertalian dengan hari raya Islam itu diistilahkan budayawan Ponorogo dengan ejaan Grebeg Suro 2015.

Kendati hampir setiap tahun 1 Sura jatuh pada hari yang sama dengan 1 Muharam, kedua tarikh atau perhitungan kalender itu tetaplah berbeda. Tarikh Jawa yang kini berlaku sebagai hasil penyesuaian dengan kalender Islam oleh penguasa Mataram, Sultan Agung Hanyakrakusuma, tetap saja menetapkan 1 Sura 1949 Jimawal, jatuh pada hari Kamis (15/10/2015). Sementara itu, 1 Muharam 1437 Hijriah jatuh hari Rabu (14/10/2015).

“Tradisi larungan ini menjadi puncak kegiatan garebek Sura yang telah digelar seluruh lapisan masyarakat di berbagai tempat di Ponorogo,” ujar Dwijo Abdinagoro.

Sesuai Ajaran Islam
Dwijo menjelaskan bahwa ritual larungan tersebut dimaknai masyarakat adat di sekitar Telaga Ngebel sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Ditegaskannya bahwa ritual tradisi Jawa itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang kini dianut oleh mayoritas warga setempat.

“Justru larungan ini menjadi semacam representasi rasa syukur kepada Allah. Tradisi ini juga digelar sebagai bagian perayaan tahun baru Islam, 1 Muharam 1437 Hijriah,” tegas Dwijo Abdinagoro yang disebut Antara sebagai sesepuh adat itu.

Nuansa Islam memang terlihat mewarnai prosesi kegiatan larungan, sejak mulai penyerahan panji dan benda pusaka oleh penjabat Bupati Ponorogo Maskur kepada panitia larungan. Kendati seremonial kental dengan adat-istiadat Jawa, iringan gending atau musik tradisional menyertakan puja-puji kepada Allah SWT.

“Sejarah perkembangan Ponorogo memang tidak lepas dari masa penyebaran ajaran Islam sehingga muncul nuansa akulturasi budaya Jawa dengan budaya atau nilai-nilai Islam,” terangnya.

Sempat Pro-Kontra
Diakui Dwijo, tradisi larungan yang kini diolah sebagai daya tarik wisata Ponorogo itu sempat memicu pro-kontra di kalangan umat Islam Ponorogo. Mereka yang menentang larungan itu menganggap larungan itu sesuai sejarahnya tidak sesuai dengan perilaku islami tanpa memahami bagaimana agama Islam itu bisa diterima masyarakat beragama sebelumnya di wilayah itu.

Lepas dari para penentang kegiatan tradisional itu, rangkaian kegiatan wisata Ponorogo yang digelar mulai pukul 09.00 WIB hingga 12.00 WIB itu berlangsung khidmat meskipun tetap meriah. Prosesi dilakukan dengan melibatkan puluhan warga berpakaian adat yang mengarak dua tumpeng bucengan (buceng lanang dan buceng wadon) mengelilingi Telaga Ngebel sepanjang lebih dari 5 km.

Setelah iring-iringan pengarak kembali ke titik pelepasan, salah satu “buceng” digotong turun ke tepi telaga untuk selanjutnya dilarung ke tengah danau menggunakan rakit yang didorong warga dengan cara berenang. Sementara satu buceng lain diberikan kepada masyarakat dengan cara berebut di jalan raya, tepian telaga.

“Prosesi purak maupun larungan ini yang paling ditunggu masyarakat karena diyakini memiliki makna dan memberi berkah bagi yang mendapatkan,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo, Sapto Jatmiko.

Bukan hanya gelaran larungan, ribuan pengunjung yang hadir dalam prosesi adat juga diisi berbagai hiburan musik dan kesenian tradisional yang mengiringi ritual tahunan primadona wisata Ponorogo tersebut.

 

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Madiun Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya