SOLOPOS.COM - Qomarun, Anggota Tim Perumus Solo Creative City Network (SCCN) Dosen Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Qomarun, Anggota Tim Perumus Solo Creative City Network (SCCN) Dosen Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Tulisan ini berupaya menggugah dan mencerahkan kembali tentang jati diri Kota Solo sebagai kota tepian air (water front city) dan sekaligus berusaha mengangkat dan mengelola potensinya. Kota-kota tua, yang pada umumnya menjadi pusat-pusat peradaban paling modern di dunia saat ini, pada awalnya adalah kota bertipe tepian air (water front city), seperti: Paris, London, Singapura dan New York.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Kota-kota itu pada awalnya dibangun di lokasi yang berdekatan dengan area tempuran (pertemuan air), baik pertemuan sungai dengan sungai maupun sungai dengan laut. Sejarah kota-kota paling awal di berbagai belahan dunia, yang dibangun lebih dari 5.000 tahun yang lalu, kebanyakan juga berada di lokasi-lokasi dengan karakteristik seperti itu, yaitu di Mesopotamia, India, Mesir maupun di China.

Sungai atau laut adalah sarana vital bagi kota-kota kuno, karena potensinya sebagai sarana transportasi yang paling murah, mudah dan aman. Seiring diketemukannya alat-alat transportasi baru (trem, kereta api, motor, mobil), lambat-laun kota tepian air berubah menjadi kota daratan. Bagi kota-kota yang mempunyai sumber daya yang kuat, baik sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya buatan (SDB), kota-kota tepian air itu masih terjaga dan bahkan dapat terpadu dengan baik dengan kota daratan.

Namun, bagi kota-kota yang mempunyai sumber daya yang lemah, kota tepian air berubah menjadi tempat sampah raksasa, atau bahkan berubah menjadi polutan raksasa, yang terus-menerus mengancam kehidupan masyarakat kotanya. Kondisi seperti ini telah banyak dijumpai di kota-kota tua di Indonesia, seperti Padang, Medan, Jakarta, Surabaya dan Semarang. Kota Solo meskipun belum terlalu parah kondisinya, saat ini sedang berproses menuju ke sana.

Bengawan Solo adalah urat nadi kehidupan masyarakat di pedalaman Jawa sejak Dinasti Syailendra (abad X) hingga zaman Mataram (abad XIX). Sumber-sumber pustaka, baik dalam bahasa Indonesia, Jawa maupun asing (Inggris, Perancis, Belanda), banyak mengungkapkan hal itu. Pada 1816-1817, Raffles menyaksikan sendiri kondisi itu, yang kemudian mengabadikannya dalam buku yang berjudul The History of Java.

Tulisan Raffles menyebutkan kapal-kapal pangeran Jawa (Mataram Kasunanan Surakarta) mampu mengangkut produk-produk pertanian dan kerajinan dari  pedalaman Jawa hingga 200 ton. Mereka berlayar dari Solo ke Gresik dengan kecepatan penuh dalam waktu delapan hari, pada waktu musim hujan yang lebat. Gresik pada abad XV adalah pelabuhan paling ramai di pesisir Jawa, sehingga Tome Pires (Portugis) memberi gelar pada pelabuhan itu sebagai Permata Jawa dalam Pelabuhan-Pelabuhan Perdagangan.

Jenis-jenis barang dagangannya meliputi: emas, kapur barus, lada, sutra, damar, madu, lilin, tir, belerang, besi, kapas, rotan, pala, cengkih, budak, beras dan tekstil. Jual beli dilakukan dengan mata uang Jawa dan kepeng China. Data dari Pigeaud (Belanda) dan Lombard (Perancis) menunjukkan ada sekitar 44 bandar kuno selama abad XIII di sepanjang Bengawan Solo.

Berdasarkan uraian di atas,  pada abad XV masyarakat asing banyak yang berada di pesisir Jawa untuk mengadakan perdagangan. Pada abad XVI, masyarakat asing mulai memasuki pedalaman Jawa melalui Bengawan Solo. Pada abad XVII-XVIII masyarakat asing (Belanda, China dan Arab) mulai bermukim di pedalaman Jawa, terutama di Kota Solo, melalui bandar-bandar yang dibuat di pinggir-pinggir sungai anak Bengawan Solo, yaitu Kali Pepe dan Kali Jenes.

Berdasarkan peta Kota Solo yang tertua, tahun 1821, terlihat bahwa masyarakat asing itu berkelompok di delta-delta anak Bengawan Solo, yaitu Kali Pepe dan Kali Jenes. Menurut naskah-naskah Jawa (Babad Sala, Babad Tanah Djawi, Babad Mataram), masyarakat Nusantara (Madura, Bali, Sumatra, Borneo, Sunda) kebanyakan bermukim di kanan-kiri sungai di Kota Solo, yaitu Kali Pepe, Kali Jenes, Kali Wingko dan Bengawan Solo. Jadi, Kota Solo pada awalnya adalah kota tepian sungai yang berisi masyarakat multietnis, baik masyarakat Eropa, Asia, Afrika, Timur Tengah maupun Nusantara dan pribumi sendiri.

Masyarakat Jawa pada umumnya bermukim secara mengelompok di rumah-rumah pangeran Jawa (magersari), selain bermukim di perkampungan-perkampungan dekat lahan-lahan pertanian raja (negaragung). Jadi, berdasarkan uraian di atas, Kota Solo adalah kota internasional kuno, yang bertipe tepian sungai atau bisa disebut sebagai kota pelabuhan internasional kuno. Kota ini menjadi ajang pertemuan berbagai etnis yang kemudian mampu memunculkan berbagai kreativitas, terkait upaya adaptasi lokal atas budaya asli di negerinya.

 

Wisata Baru

Hal ini dapat dilihat dari berbagai peninggalan fisik (bangunan, tulisan, pakaian, makanan) maupun nonfisik (adat-istiadat, norma, agama, bahasa). Upaya untuk memperlihatkan dan merasakan berbagai artefak (bangunan, tulisan, pakaian, makanan, petilasan kota), psifak (perayaan, pertunjukan, gelar karya) maupun ekofak (Bengawan Solo, Kali Pepe, Kali Jenes) di Kota Solo melalui ”pelayaran kota” adalah potensi wisata yang baru dan banyak membangun ekonomi kreatif.

Gagasan itu adalah upaya menciptakan produk dan pasar baru. Hal ini tentu membutuhkan upaya yang luar biasa bagi seluruh stakeholders kota. Pencegahan ruang-ruang tepian sungai agar tidak menjadi tempat sampah raksasa maupun polutan raksasa harus dilakukan melalui penciptaan lapangan kerja baru atau dengan kata lain melalui penciptaan ekonomi kreatif di wilayah-wilayah sungai.

Untuk mewujudkan ekonomi kreatif yang berkategori ”besar” seperti itu harus didukung oleh kelompok ber-power seperti: Pemerintah Kota, DPRD, kalangan cendekiawan/perguruan tinggi, pengusaha, aktivis lingkungan, tokoh masyarakat, seniman/budayawan, media massa serta para pegiat lain yang peduli terhadap perkembangan Kota Solo.  Solo Creative City Network (SCCN) yang digagas menjadi jaringan antar lembaga/komunitas di Solo menyambut gembira ide Pemerintah Kota Solo untuk membangun berbasiskan sungai seperti urban forest di bantaran sungai di Pucang Sawit, maupun rencana proyek Kali Pepe yang akan menjadi proyek percontohan pada 2013 serta revitalisasi Taman Kapujanggan Ranggawarsita di Jurug.

Upaya untuk mengubah ruang negatif menjadi ruang positif di Kali Pepe, yang posisinya ada di tengah-tengah kota itu, adalah kunci pembuka proyek raksasa ini. Jati diri Kota Solo adalah kota tepian air (water front city), namun seiring dengan perkembangan zaman telah berubah menjadi kota daratan. Untuk mencegah ruang-ruang tepian sungai di Solo menjadi ruang negatif dan mengancam keberlanjutan kota, dibutuhkan upaya yang luar biasa karena menyangkut seluruh stakeholders kota dan satuan waktu yang mencapai hingga beberapa dasawarsa.

Pencegahan itu harus dilakukan melalui penciptaan lapangan kerja baru, atau dengan kata lain melalui penciptaan ekonomi kreatif. Kota Solo sebagai bekas kota bandar internasional kuno, yang mempunyai banyak jejak-jejak prestasi peradaban masa lalu, layak dimunculkan kembali pada masa kini, dengan berbagai sentuhan ecocultural design.

Upaya untuk memperlihatkan dan merasakan berbagai artefak (bangunan, tulisan, pakaian, makanan, petilasan kota), psifak (perayaan, pertunjukan, gelar karya) maupun ekofak (Bengawan Solo, Kali Pepe, Kali Jenes) di Kota Solo melalui ”wisata pelayaran kota” adalah potensi wisata yang baru dan banyak membangun ekonomi kreatif. Semangat menciptakan ekonomi kreatif dengan sentuhan akar budaya lokal adalah kunci dalam memasuki tantangan di era global masa kini dan masa nanti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya