SOLOPOS.COM - Panorama Curug SIlawe dengan air terjun yang jernih di Desa Sutopati Kajoran Kabupaten Magelang. (Sumadiyono/JIBI/Harian Jogja)

Harianjogja.com, MAGELANG- Untuk menuju Curug Silawe dari Borobudur, Anda tinggal melanjutkan perjalanan ke jalur utama Magelang-Purworejo (arah Purworejo). Setelah menempuh jarak sekitar sembilan kilometer, perjalanan berbelok menuju arah Kajoran.

Anda tak perlu khawatir nyasar. Sebab di pertigaan jalan ke arah Kajoran terpampang penunjuk arah ke Curug Silawe. Kondisi jalannya pun beraspal halus.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dari pertigaan inilah perjalanan mengasyikkan dimulai. Panorama khas perbukitan langsung terhampar di depan mata. Di sepanjang sisi jalan, ladang dan sawah tampak asri menghijau.

Sementara tidak jauh dari garis horison persawahan, perbukitan Potorono terlihat begitu dekat di sisi kiri jalan. Keindahan masih ditambah view Gunung Sumbing nan gagah yang terlihat jelas dari arah depan saat Anda berkendara.

Keindahan alam ini pula yang membuat perjalanan berkelak-kelok sejauh sekitar 15 kilometer (dari pertigaan arah Kajoran) sampai ke lokasi Curug Silawe terasa tak melelahkan. Saking indahnya, tak berlebihan jika panorama ini seperti mengingatkan relief keindahan alam di bagian Rupadhatu Candi Borobudur.

Sekadar berandai, bisa jadi keindahan alam di sekitar Borobudur lah yang menginspirasi Wangsa Syailendra membangun sebuah candi besar. Apalagi secara geografi, wilayah Borobudur dikelilingi perbukitan. Mulai dari Gunung Sumbing, Merapi, Bukit Menoreh, Bukit Potorono dan bukit bukit kecil lain yang saling berdekatan.

Konon banyak teori yang berusaha menjelaskan asal usul nama Candi Borobudur. Salah satunya menyatakan nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara yang berarti “gunung” (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras persawahan dan perkebunan.

Teori ini seolah menyibak kultur budaya masyarakat di sekitar Borobudur di masa lalu di mana kawasan perbukitan dan pegunungan adalah pusat kebudayaan dan peradaban.

Otomatis, jalur yang melintasinya pun ibarat “jalur sutera” untuk kepentingan perdagangan, ilmu pengetahuan, perekonomian dan kepentingan lain saat itu.

Dari perkiraan itu lantas muncul pertanyaan lain mengapa Borobudur dan sejumlah candi ke Kedu kebanyakan berada di perbukitan. Mungkin karena candi adalah simbol keselarasan dan harmonisasi manusia dengan alam dan lingkungannya.

Atau bisa jadi, candi adalah media yang mengajarkan manusia lebih “hening” dan tentu saja agar saling welas asih dengan sesama, alam dan lingkungannya. Pendek kata, secara filosofi, manusia akan mencapai kebahagiaan jika tidak merusak alam dan lingkungannya.

Kembali ke perjalanan menuju Curug Silawe. Perjalanan menantang baru terasa ketika memasuki Desa Sutopati. Kondisi jalan tidak lagi seramah sebelumnya. Hampir sepanjang jalan belum beraspal alias masih berbatu.

Setelah menempuh medan off road yang cukup menguras energi, perjalanan berakhir di pos bangunan permanen sekaligus loket masuk ke objek wisata Curug Silawe.

Dari pos ini terlihat wilayah Desa Sutopati terhampar di bawah bukit. Rumah rumah warga berjajar rapi. Di sekeliling desa tampak rerimbunan pepohonan yang menyejukkan.

Selanjutnya, tinggal membayar tiket seharga Rp4.000 per orang untuk kemudian menikmati kesejukan Curug Silawe yang sudah menanti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya