SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Bagi William Wongso, guru yang paling berharga adalah para pedagang di pasar becek, ibu-ibu di desa dan pedagang kaki lima. Selama ini, ia mengaku belum menemukan ahli profesional bidang kuliner Indonesia. Itulah yang menggelitiknya berencana mendirikan institusi kuliner nusantara di Jogja.

Harian Jogja berbincang dengan sang pakar kuliner ini di Sasanti Restaurant, Jalan Palagan Tentara Pelajar Jogja akhir pekan lalu. Nama lengkapnya adalah William Wirjaatmadja Wongso. Lelaki berusia 64 tahun ini, sejak 2004 didapuk sebagai konsultan kuliner di restoran tersebut.

Promosi BRI Dipercaya Sediakan Banknotes untuk Living Cost Jemaah Haji 2024

Ia juga menjadi konsultan di Grand Aston Hotel,” tuturnya membuka perbincangan.  Debut William, begitu sapaan akrabnya, memang tak diragukan lagi khususnya di bidang kuliner Asia dan Eropa. Lelaki yang pernah membawakan acara Ceritarasa William Wongso di Metro TV ini sudah menggeluti dunia kuliner sejak 34 tahun silam.

Ia mengikuti sejumlah pelatihan profesional bidang kuliner di Belanda, Jerman, Perancis, Italia dan Amerika Serikat. Di Indonesia, ia justru tak pernah mengenyam pelatihan profesional kuliner khas Tanah Air. Untuk mempelajari makanan khas nusantara, bapak dua putra ini harus terjun langsung menjelajahi Sabang sampai Merauke. Tempat pertama yang ia selalu kunjungi adalah pasar tradisional setempat.

Dengan mengunjungi pasar tradisional, menurut William Wongso, ia bisa meraba seberapa kencang denyut jantung, peredarannya sampai kemana, apakah hanya untuk makan sehari-hari, tahu keadaan ekonomi budaya, bahan-bahan yang disajikan. Ia juga belajar keunikan dari setiap bahan yang ada dan setiap daerah berbeda-beda. William mengaku lebih banyak belajar dari mbok-mbok pedagang di pasar, di desa-desa, pedagang makanan di jalanan. Simak bincang-bincang Harian Jogja dengan William berikut: 

Kok mbok-mbok pedagang pasar? Apa Indonesia tidak memiliki ahli bidang kuliner?
Saya rada geregetan, meski dalam kenyataan tidak mudah mencari guru yang menguasai masakan tradisional. Pendidikan dasarnya tidak ada. Akademi pariwisata enggak punya data. Makanya, melihat ini saya sering kemana-mana padahal dasar pendidikan saya sendiri barat. Masyarakat di desa-desa sangat mempertahankan tradisi yang hampir punah. Meski banyak yang punah sih. Di Indonesia kalau tidak diperhatikan, generasi yang akan datang akan dikitari makanan yang cepat saji, tempat ber-AC, apik dan nyaman. Ironisnya, makanan kita masih sebatas makanan jalanan.

Bagaimana memecahkan persoalan minimnya ahli kuliner Indonesia itu?
Rencananya saya akan membangun institusi khusus untuk pengembangan, mempertegas posisi tradisi kuliner nasional yang bertempat di Jogja. Mengenai penyebaran tradisi kuliner di Indonesia itu terus terang saat ini ketinggalan terutama di kawasan ASEAN, salah satu alasannya adalah minimnya pendidikan di setiap daerah sehingga mereka berusaha sendiri untuk mempertahankan citra kuliner daerah masing-masing.

SMK pun saya lihat kurikulum masakan tradisional-nya masih sangat minim, ahli-ahli pengajar makanan tradisional yang sifatnya kedaerahan juga sedikit. Sulit mencari ahli masakan kuliner. Kalau ditanya soal masakan, mereka lebih meguasai masakan barat, oriental, jepang dan sebagainya. Karena mereka belajar dari intitusi dimana mereka bekerja.

Kenapa memilih Jogja?
Saya rasa Jogja paling cocok. Lingkungan tradisinya masih kental dan tidak macet [lalu lintas]. Orang lebih gampang mau kemana-mana dari Jogja, misalnya ke Solo. Saya berharap ini akan menjadi sentral di Indonesia, siapapun bisa belajar. Koki dari hotel, misalnya, bisa belajar sesuatu, kalau sudah mapan dan punya waktu bisa keliling ke tempat asal makanan itu. Pengalaman saya sendiri, saya melihat masakan aslinya dengan datang ke daerah masing-masing, saya berpikir, bagaimana mencari alternatif bahan-bahan di desa saat saya hendak masak di kota. Saya jadi punya alasan, sup yang asem, tapi saya enggak mau kuahnya keruh, saya bisa pakai asam galugu, kandis, dan saya tau oh ini bisa nih.

Kalau di Indonesia tidak ada ahli kuliner, lalu siapa yang akan mengajar?
Saya belum bisa katakan akan terealisasi kapan, tapi saya sudah siapkan. Saya kepingin itu jadi cita-cita dengan mendatangkan orang dari daerah, bukan sebagai dosen tetap. Ada dua pengertian ahli, pertama ahli masak makanan sebagai narasumber. Kedua, misalnya Yu Jum ahli masakan gudeg tapi dia pedagang kan? Jadi enggak ada profesional yang menguasai keduanya sekaligus. Kita datangkan mereka.

Apa yang ingin Anda lakukan dengan institusi kuliner itu?
Saya ingin ada pengembangan Jogja jadi second destinasi setelah Bali, pengembangan tradisi kuliner di Jateng dan DIY serta daerah-daerah lain. Kita lebih baik menyajikan sesuatu yang khas di daerah masing-masing daripada makanan pendatang, meski tidak bisa dibendung.

Apakah institusi itu mampu menjadikan posisi kuliner Indonesia diperhitungkan?
Selama ini perkembangan chef yang menciptakan makanan lebih terpengaruh oleh negara Tailand, Kamboja, Vietnam, Malaysia, sedangkan Indonesia enggak disebut. Baru-baru ini saya diminta KBRI di Denhag untuk memberikan workshop bagi para pemilik rumah makan Indonesia di Belanda. Mungkin Belanda adalah negara yang paling banyak restoran Indonesia-nya, saya mencicipi masakannya. Namanya Indonesia tapi rasanya kok kayak gini? Berarti orang Belanda disuguhi sesuatu yang sudah dikompromikan. Nah concern saya di situ.

Kenapa di Indonesia tidak banyak orang yang memiliki obsesi seperti Anda?
Kita harus bedakan, saya ini pelaku kuliner, bukan ahli masak. 10 Tahun ini saya memperdalam praktisi kuliner Indonesia. Tahun ini adalah tahun kelima saya sebagai penasehit kuliner di Garuda Indonesia. Masakan Indonesia itu beraneka ragam, tidak bisa kita menyatakan ‘bisa masak’ kalau hanya tahu bumbu merah dan kuning. Karena, ada tempat yang makanannya tidak pakai bawang putih, ada tempat yang pakai. Hal-hal seperti itu yang tidak dibakukan di negara kita. Bumbu dasar memberikan analogi seperti warna, dasarnya ada lima bisa jadi ribuan karena kawin silang, dan siapa saja bisa melakukannya.

Menurut Anda, siapakah William Wongso?
Ibaratnya saya itu kolektor lukisan, yang lukisannya digantung di dinding. Saya ini pemburu di bidang cita rasa, saya uber dan icipi. Dari murah sampai mahal. Bedanya kalau lukisan bisa ditempel di tembok, dan icip enggak ada bekasnya. Tapi rasa itu tersimpan di memori dan benak saya. Ada dua hal yang secara umum dilakukan siswa-siswa Jepang yang belajar kuliner, dimana-mana duitnya habis untuk beli buku dan makan, bukan makan kenyang tapi icip-icip, mereka rata-rata bisa belajar makanan Prancis, tapi sebelumnya sudah bisa menguasai masakan Jepang.

(Wartawan Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya