SOLOPOS.COM - Dyah Sujirah/Sipon (Ahmad Hartanto/JIBI/SOLOPOS)

Wiji Thukul (FOTO/Dok)

Dua kursi tamu dipenuhi kain lurik setengah jadi dan beberapa gulung benang. Di ruangan itu pula, seorang perempuan paruh baya duduk di belakang mesin jahit listrik. Perempuan yang dikenal sebagai aktivis pencarian orang hilang, yang biasa dipanggil Sipon, dengan ramah mempersilakan Espos masuk ke rumahnya di Kampung Kalangan, Jagalan, Jebres, Solo. Dengan kacamata di dahinya, terlihat titik-titik keringat di wajahnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di dinding ruang tersebut, ada beberapa foto yang dipigura, di antaranya anak keduanya, Fajar Merah, semasa kecil mengenakan sarung dan peci. Foto seorang perempuan tua, yang merupakan eyangnya, piagam penghargaan dan foto sepasang pengantin mengenakan baju adat Jawa. “Itu saya sama Mas Wiji,” kata Sipon yang memiliki nama asli Dyah Sujirah, Sabtu (3/3).

Wiji Thukul adalah seniman Solo yang hilang saat Orde Baru berkuasa. Puisi-puisinya berisi kritikan terhadap rezim Soeharto. Sampai kini, tak diketahui nasibnya. Sipon yakin suaminya masih hidup sampai sekarang. Karena itu, dia menunggu kedatangan suaminya.

Sipon berkisah dulu di dinding itu terpasang foto Wiji Thukul berukuran besar namun oleh anaknya dicopot. “Foto itu juga mau dicopot, saya bilang, janganlah, itu kenang-kenangan satu-satunya ibu,” kata Sipon.

Di rumahnya, Sipon mengisi hari dengan menjahit. Ada tiga mesin jahit di rumahnya, beserta tumpukan kain dan bordir. Sudah sejak lama ia menggantungkan hidup dengan memproduksi pakaian jadi. Produk terbarunya yaitu kain lurik yang dipadukan dengan bordir. Hasilnya, bisa berupa baju kebaya atau tas punggung yang memiliki hiasan bunga-bunga berwarna cerah. “Mencari ide baru, seperti ini kan jarang di luar sana, semoga bisa lancar,” tutur dia.

Menjahit jahit dan membordir memberikan dunia baru baginya, yang lebih indah dan berwarna. Selama hidup, tuturnya, selalu saja berurusan dengan hukum, ketidakadilan dan aparat keamanan. “Sejak menikah selalu begitu. Setahun sebelum dia enggak ada, kami ketemu caranya kucing-kucingan. Janjian di tempat tertentu, datang sendiri, tidak bawa KTP. Biar tidak diketahui aparat. Waktu itu kan dicari-cari,” kisah dia. Pada suatu ketika, ia bertemu dengan Wiji di sebuah tempat lokalisasi di Sragen.

Dyah Sujirah/Sipon (Ahmad Hartanto/JIBI/SOLOPOS)

Sipon bertemu Wiji Thukul atau Wiji Widodo saat keduanya menjalani satu kegiatan yang sama, yaitu di dunia teater di Solo. Keduanya menikah pada Oktober 1988 di Solo dan dikaruniai dua anak. Pada 16 Mei 1989, lahir putri pertama bernama Fitri Nganthi Wani yang menikah beberapa bulan lalu. Anak kedua lahir pada 23 Desember 1993 bernama Fajar Merah. Fajar saat ini tumbuh sebagai seorang pemuda yang langsing dan tegak. Wajahnya segaris dengan Wiji Thukul.

Sipon yang merupakan asli Solo mengaku hanya mengenyam pendidikan sampai Kelas V SD. Saat itu, ayahnya diduga gila dan dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Sipon merasa malu, sering diolok-olok teman sekelasnya sehingga memutuskan berhenti sekolah. Sejak itu, ia memilih bekerja buruh dan diselingi bermain teater di sanggar. “Hobi saya dulu suka mendengar kisah sejarah. Bagaimana ayah yang saat muda dulu berperang melawan bangsa asing. Sangat heroik dan saya betah,” tuturnya.

Ayah Sipon seorang veteran perang. Hidupnya sederhana dan berprinsip ikhlas, tidak meminta imbalan. “Ayah mengajarkan beri yang terbaik untuk negara, jangan meminta apapun tapi kalau diberi jangan ditolak,” kata Sipon.

Ia mengaguminya sebagai sosok tokoh yang berjuang tanpa pamrih, tanpa mengharap kenikmatan setelah berhasil. Berbeda dengan kondisi bangsa saat ini yang kekurangan figur pemimpin yang mengerti keinginan rakyat, turut bersimpati dan amanah.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya