SOLOPOS.COM - Widayanto (JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

Widayanto (JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

Laki-laki kelahiran di Boyolali 40 tahun silam ini merupakan salah satu dari 36 petugas pemadam kebakaran (PMK) di wilayah Bumi Sukowati.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Loyalitasnya kepada Tri Hascaryanto sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pemadam Kebakaran tak diragukan lagi.

Widayanto, ya begitulah nama lengkap suami Watik Susuani, seorang gadis asal Pilangsari, Ngrampal yang dipersuntingnya sebelum menjadi petugas pemadam kebakaran.

Mantan kernek minibus ini masuk sebagai PMK sejak tahun 2008 atas saran dari mertuanya, J Waluyo, yang juga mantan PMK Sragen. Dengan modal motivasi mertua, Widayanto menjadi PMK dengan status tenaga job training.

Pria kelahiran 24 Januati 1970 ini sudah banyak makan garam selama empat tahun mengabdi sebagai petugas sosial. Selama empat tahun itu, dia hanya mendapatkan insentif rutin salam 2010, selain itu tidak ada insentif sama sekali.

“Sejak 2008-2009 tidak ada uang makan sama sekali. Baru 2010 ada uang makan sekitar Rp 450.000/bulan. Tapi setelah keuangan daerah defisit, saya tidak lagi dapat uang makan. Untuk kebutuhan makan dan biaya sekolah anak hanya mengandalkan uang pensiunan mertua per bulan,” ujar Widayanto saat dijumpai Espos, Selasa (27/9/2011), di ruang kerjanya.

Untungnya istri dia sangat mendukung perjuangan suaminya yang meneruskan jasa orangtua. Selama bekerja, dia tidak pernah mengeluh dan tidak pernah mengenal waktu.

Seperti PMK lainnya, Widayanto selalu stand by menunggu panggilan masyarakat untuk memerangi si jago merah. Dengan peralatan terbatas, dia tidak pernah menyerah dengan medan yang sulit dan lokasi yang jauh.

Fasilitas para PMK ini masih minim dibandingkan PMK di kabupaten/kota lainnya. Sragen hanya memiliki tiga unit mobil pemadam kebakaran yang terbagi atas dua unit di UPTD Pemadam Kebakaran Sragen dan satu unit di Posko Pemadam Kebakaran Gemolong.

Saat pelayanan PMK terlambat sedikit saja sampai di tempat kejadian perkara (TKP), tak pelak para PMK sering mendapat cacian yang tidak enak, seperti kata sering terlambat, kata sudah padam baru datang dan seterusnya.

“Sebenarnya sakit kalau dirasakan. Masyarakat kadang tidak sadar dengan bagaimana medan yang harus dilalui mobil pemadam. Belum lagi kendala lalu lintas yang padat. Selain itu pemberitahuan masyarakat kepada unit pemadam kebakaran juga terlambat karena tidak mengetahui informasi kantor pemadam,” tegasnya.

Dia pun tidak tahu apakah harapan menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) itu bisa terwujud atau tidak. Dia hanya berfikir ikhlas menjalankan misi sosial demi keselamatan masyarakat. Dari puluhan kasus yang ditangani Widayanto, ada dua kejadian yang dinilainya cukup berkesan, yakni kebakaran di Pabrik Mebel Gemolong dan di diler motor Majenang, Sukodono.

Dia tidak bermimpi apalagi berangan-angan untuk menjadi PMK. Bayang-bayang masa depannya sejak masih duduk di bangku SD sebenarnya ingin menjadi kuli tinta. Namun alumnus Sekolah Farming Menengah Atas Ampel ini pun kandas di tengah jalan dan cukup menjadi PMK.

Bungsu dari empat bersaudara ini hanya bisa berharap ada apresiasi bagi para PMK di Sragen. Khususnya bagi dunia usaha agar bisa peduli terhadap nasib para PMK melalui kerja sama yang baik.

Dia menginginkan setiap perusahaan besar di Sragen memiliki pemadam kebakaran sendiri, sehingga bisa membantu PMK dalam mengatasi kebakaran.

(Tri Rahayu)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya