Baru lima menitan Noyo tiba di
angkringan Pak Dhe Harjo. Minuman teh jahe di gelasnya pun masih
panas. Hanya ada dia dan Pak Dhe Harjo di tempat itu. Tidak tahu
kenapa malam itu kok angkringan begitu sepi.
Sementara dari radio terdengar suara
swargi Ki Hadi Sugito yang baru saja merampungkan jejer perang
kembang.
Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau
“Kok
tumben sepi Dhe,” kata Noyo membuka pembicaraan setelah nyruput teh
jahenya.
“Nggak tahu
ki Le. Beberapa hari ini sepi. Padahal yo isih tanggal muda,” saut Pak Dhe Harjo sambil menambahkan areng di
tungkunya.
“Ini
apa lakon wayangnya?”
tanya Noyo. Tangannya menyambar sate keong dan didekatkan ke api
tungku biar panas.
“Bagong
Kembar,” saut Pak Dhe Harjo singkat.
“Wah
wis bola bali diputer,” timpal Noyo lagi.
“Ya,
meski sudah mendengarkan beberapa kali tapi yang namanya wayang aku
tetap nggak bosan. Selain juga buat cegah lek,” dengan
tenang Pak Dhe Harjo menjawab.
“Tapi lakon itu mengandung piweling apik lho Dhe.
Itu lak ceritanya tentang hilangnya pusaka-pusaka Ngamarta dan
Dwarawati yang akhirnya Bagong yang bisa menemukan itu to?” lanjut
Noyo.
“Iya. Piweling apa
maksudmu,” Pak Dhe Harjo balik tanya.
“Lho
itu menggambarkan kalau saat pejabat atau pemimpin mengalami
kesulitan akhirnya rakyat kecil juga yang bisa menyelesaikan. Itu
nasihat kepada para pemimpin agar jangan suka meremehkan rakyat
kecil,” terang Noyo.
“Ooo…malah
lagi mudeng aku,” kata Pak Dhe Harjo sembari manggut-mangut.
“Berarti
ora salah kalau pemimpin itu mengeluh ke rakyatnya?” lanjut Pak Dhe
Harjo.
“Lho
boleh saja mengeluh kepada rakyat. Ning sing bermutu mengeluhnya.
Jangan sedikit-sedikit mengeluh. Dikit-dikit pengumuman kalau sedang
tersinggung, marah, kecewa. Ada SMS wae mbingungi.Kalau
seperti itu ya rakyate lama-lama memeng Dhe,”
sanggah Noyo.
Belum
lagi pembicaraan soal wayang berlanjut Suto datang dan bergabung
dengan dua orang tersebut. “Teh krampul Dhe. Sing panas. Wah beberapa hari ini Jogja dingin banget,” tanpa
pendahuluan apa-apa Suto langsung bersuara banyak.
“Kayaknya
memang sudah masuk kemarau ini. Jadi hawanya dingin. Orang bilang ini
musim bediding,” Pak
Dhe Harjo pun melayani pembelinya tersebut.
“Gimana
kabarmu To. Lama nggak kelihatan ke mana saja,” tanya Noyo.
“Kabarnya
jelek. Mumet tenan aku lagian iki,” jawab Suto serius.
“Lha ngopo?”
Pak Dhe Harjo ikut tanya.
“Habis
pengumuman kelulusan SMP malah mumet,” Suto mengambil kacang
godhok.
“Lho,
lak anak wedok lulus to?” Noyo menyambung.
“Lulus.
Malah nilainya bagus,” jawab Suto.
“Kok
malah mumet?” Pak Dhe Harjo heran.
“Mumet
karena mau meneruskan sekolah duitnya tidak ada Dhe. Ndilalah wae
padi habis dimakan wereng. Tadi sore tak bakar sawahku karena gak bisa dipanen sama sekali. Modal Rp2 juta amblas. Belum dietung tenaga menggarapnya. Arep pie jal? Apa ra mumet nek ngono kui.
Kalau tidak malu aku mau sambat sekuat-kuatnya. Hidup kok semakin
berat,” kalimat Suto terdengar berat.
“Lha
apa tidak diobati werengnya kok sampai tidak panen itu?” tanya
Noyo.
“Diobati.
Tetapi wereng sekarang mbeler-mbeler tenan. Disemprot blas ra ngefek. Padahal
harga obatnya naik lho…,” jawab
Suto.
“Wereng
reformasi kui namanya,” celetuk Pak Dhe Harjo.
“Maksudte pie kui?”
tanya Suto.
“Lha coba rasakno.
Zaman sekarang katanya zaman reformasi. Tetapi malah ora karu-karuan.
Orang-orang makin mbeler. Korupsi yo saya edan-edanan. Tidak punya malu. Katanya
membantah tidak melakukan korupsi tetapi malah ndelik di
negeri orang. Apa jeneng ra mbeler nek ngono kui. Persis
wereng itu tadi,” kata Pak Dhe Harjo.
“Termasuk sing dadi tersangka
korupsi tapi malah jalan-jalan tekan Kamboja dan Frankfrutt barang.
Padahal mengakunya lupa ingatan kok malah plesir tekan
ngendi-endi. Nek kui wis wereng
kebal peluru kui. Ra mung mbeler,” sambung
Noyo.
“Tapi
soal sambat mau To. Kamu boleh kok sambat. Wong pemimpin kita saja
juga banyak yang punya hoby sambat kok. Masa rakyatnya tidak boleh
sambat,” Pak Dhe Harjo sedikit mengubah topik pembicaraan.
“Sambat
terus apa gunanya? Kalau pemimpin sambat isa ngundang tivi terus siaran langsung wong sak Indonesia
bisa mendengarkan. Lha kalau aku yang sambat siapa yang mau ndenger.
Paling sampeyan-sampeyan sing gur nasibe sama
ini,” jawab Suto disambut ketawa dua orang yang lain.
Mereka
terus ngobrol ngalor ngidul.
Sampai tidak terasa Ki Hadi Sugito sudah siap masuk ke jejer Goro-goro.
Candraning goro-goro. Bumi gonjang
langit gumarang. Tangising bumi kulawan langit. Tangising bumi lindu
sedina kaping pitu ketiga dawa lemah bengkah bledug mangampak
panjering sapi gumarang. Tangiseng langit banjir tanpa sangkan udan
barat salah mangsa. Kluwung pating palengkung teja mangkara-kara.
Gunung tarung pada dene gunung.
Bumi langit kaya
tangkep-tangkepo. Lintang pindo rinontok-rontok. Lidah tathit paling
klewer. Clerat taun pating celorot. Suworo kawah gumaludhuk. Tirta
kang mangambak lir kinebur-kebur kinocak
gambiroloyo…Hoooooooooonnn….dok…doookk…dookkk…doookkk…