SOLOPOS.COM - R. Bambang Aris Sasangka (Solopos/Istimewa)

Koran Solopos edisi Senin (6/2/2023) mengangkat berita utama mengenai potensi wellness tourism atau wisata kesejahteraan jiwa di Kota Solo. Wellness tourism ini kalau mau dijelaskan adalah wisata yang orientasinya adalah yang marai ayem. Kalau sudah ayem, ya jadinya tercapailah apa yang sering diistilahkan orang sekarang sebagai “healing,” atau pemulihan jiwa raga.

Karena itu orang yang berwisata untuk kesejahteraan jiwa kegiatannya tidak melulu untuk makan-makan, berfoto-foto, atau bikin konten. Dia akan melakukan kegiatan-kegiatan yang dinilainya bakal marai ayem dirinya. Yang suka berenang ya akan berenang, entah di kolam renang modern atau di umbul atau sungai yang bersih dan segar. Yang suka gowes, dia tidak akan menggowes di tengah perkotaan yang padat sambil pamer sepeda mahal, namun blusukan desa dan kampung, mengaso ngeteh dan nyoto di warung ndesa, menikmati panorama alam.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di sela-sela kegiatan-kegiatan fisik itu, sang wisatawan “golek ayem” mungkin juga bakal menikmati sensasi memanjakan diri dengan pijat, perawatan tubuh dengan luluran berbahan herbal tradisional. Mungkin juga dia bisa menikmati sajian jamu yang nikmat, atau berburu bahan racikan jamu di pasar tradisional.

Semua itu memberikan pengalaman, experience. Dan pengalaman yang didapat itu akan memberikan kenangan, dan kenangan yang baik itu akan menjadi penyejuk jiwa karena bakal bisa “dipanggil” kapan saja. “Wah, senang sekali ya waktu di sana itu. Yuk kalau liburan panjang ke sana lagi,” begitu kira-kira obrolan batin yang terjadi, atau obrolan dengan teman berlibur yang sama, entah itu kekasih atau keluarga.

Karena itu untuk membangun kesan yang baik dan mendalam, dibutuhkan vibes alias suasana atau atmosfer sebagai pemicunya. Hla, vibes ini hubungannya sama rasa atau kesan pribadi dari masing-masing orang. Tidak ada standar untuk menciptakan vibes ini, dan orang juga tidak bisa diarahkan bahwa “ini hlo vibes-nya!” Orang juga akan sulit menjelaskan seperti apa sih vibes-nya wilayah tertentu. Contohnya saja, coba jelaskan vibes yang didapat orang kalau pergi ke Jogja atau ke Bali. Mungkin jawabannya adalah, “Ya, ngono kae hlo. Pokoknya gitu deh!”

Karena itu, guna membangun vibes di wilayah masing-masing, seperti misalnya Solo, yang bisa dicari mungkin adalah kekhasan dari daerah itu sendiri. Ketika Pemkot Solo membangun koridor Jl. Gatot Subroto atau Gatsu dan koridor di kawasan Jl. Diponegoro atau Ngarsopuro, konsep dasarnya adalah menjadikannya “seperti Malioboro di Jogja.” Namun tentu saja suasana atau atmosfer alias vibes Malioboro akan selalu hanya menjadi milik Malioboro. Koridor Gatsu dan Ngarsopuro harus membangun vibes-nya sendiri.

Dan hal ini sepertinya sudah mulai bergerak ke situ. Orang mulai mengenal dan membangun kesan mengenai kawasan itu. Anak saya yang mahasiswa suatu Sabtu malam pamitan mau yang-yangan ke koridor Gatsu. “Ada acara pembacaan puisi Rendra, pengen lihat,” kata dia. Wah, anak yang selama ini sukanya nge-game kok jadi mendadak romantis kepingin melihat pembacaan puisi, batin saya. Suatu Sabtu yang lain dia pamit lagi yang-yangan, dan katanya masih mau ke koridor Gatsu lagi. Katanya enak buat nongkrong dan ada pameran seni dan merchandise alias cenderamata. Wah, ya sukses ini misi membangun kawasan yang “Malioboro-able.” Artinya orang sudah mulai merasakan tarikan kesan yang membuatnya ingin kembali lagi. Ada experience atau pengalaman yang menyenangkan yang dirasakan.

Di lain hari, saya kebetulan bertemu story di akun Instagram salah satu teman yang kuliah di Bali. Dia berkisah kalau kena macet di satu jalan lalu mencoba mencari jalan pintas. Eh, di jalan yang lain itu dia kena macet lagi, tapi kali itu dia menikmati kemacetannya karena penyebabnya adalah lagi ada iring-iringan prosesi adat yang disertai penabuh gamelan komplet. “Kalau macetnya begini ya asyik,” kata dia. Ini artinya daya tarik budaya bisa membuat orang mengabaikan ketidaknyamanan yang mungkin dirasakan karena dia justru mendapatkan pengalaman atau experience, dan merasakan vibes tersendiri dari suatu daerah.

Upaya ini yang perlu dilakukan terus menerus di semua daerah. Apalagi Soloraya ini punya aneka daya tarik yang jika dirawat dan dikembangkan dengan baik, termasuk dengan dukungan infrastruktur yang lengkap, baik, dan memadai, bakal bisa menarik lebih banyak wisatawan. Dan wisatawan yang akan memberikan kontribusi yang lebih banyak adalah mereka yang kemudian merasakan pengalaman, menemukan vibes suatu daerah, dan lantas kembali lagi di lain waktu. Ya syukur juga kalau dia lantas membagikan kesannya itu ke orang lain dan nantinya mengajak orang pula untuk datang ke tempat yang pernah dikunjunginya.

Kawasan wisata pegunungan di Tawangmangu dan Ngargoyoso juga sudah mengalami hal ini. Meski rada ketinggalan dari wisata Merapi yang punya ciri khas wisata naik jip, kawasan Ngargoyoso sudah mengikutinya dengan memperkenalkan wisata serupa berkeliling perkebunan teh dan sudah jadi terkenal juga. Kawasan jalan tembus atau jalur baru Tawangmangu-Sarangan juga sudah jadi daerah nongkrong baru dengan aneka kafe dan rumah makan serta tempat wisata yang jadi jujugan.

Asyik….. tapiiii…… ngoeeeeeeng ngeng ngeeeeeeeng……broeeeeeeeeeeeet!

Waduh, gak jadi healing dan dapat vibes deh, ada knalpot brong!

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya