SOLOPOS.COM - MEMBAWA KE SOLO--Margono di Sanggar Wayang Gogon, Senin (30/4). Dia membawa kerajinan ewayang kulit dari kempungnya di Manyaran, Wonogiri menuju Solo. (Espos/Adib Muttaqin Asfar)

MEMBAWA KE SOLO--Margono di Sanggar Wayang Gogon, Senin (30/4). Dia membawa kerajinan ewayang kulit dari kempungnya di Manyaran, Wonogiri menuju Solo. (Espos/Adib Muttaqin Asfar)

Selama ini kawasan Kentingan Kulon, Jebres, Solo lebih dikenal sebagai kawasan kos-kosan mahasiswa dua kampus, ISI Solo dan UNS. Namun tak banyak yang menyadari jika kawasan ini juga melahirkan produk wayang kulit berkualitas tinggi yang telah menyebar ke seantero negeri.

Promosi Usaha Endog Lewo Garut Sukses Dongkrak Produksi Berkat BRI KlasterkuHidupku

Sanggar Wayang Gogon, begitu nama sanggar tempat produksi wayang kulit di Jl Halilintar ini. Setiap hari, rumah bekas kos-kosan ini disibukkan dengan aktivitas tatah (memahat) dan sungging (melukis) wayang kulit. Ada cukup banyak orang di sana, mulai dari perajin sampai mahasiswa yang ingin belajar membuat wayang secara langsung.

“Sejak 1997 saya kos di sini dan pada awal 2006 tempat ini saya beli. Baru kemudian pada 2008 saya cari SIUP untuk izin usaha,” ungkap Margono atau kerap dipanggil Gogon (seperti nama sanggarnya), Senin (30/4).

Ekspedisi Mudik 2024

Hari itu, Margono baru saja pulang dari Surabaya setelah empat hari mengikuti pameran dalam rangka Festival Dalang se-Jatim. Margono memang rajin mengikuti pameran-pameran baik di Solo, Jakarta hingga Surabaya. Semuanya untuk memperkenalkan produksi wayangnya yang usianya terbilang relatif muda.

Usahanya untuk selalu mengikuti pameran itu memang menunjukkan hasil yang positif. Tak seperti seniman wayang yang tersebar di kawasan terpencil, Margono yang lulusan Jurusan Pedalangan STSI (sekarang ISI) Solo lebih lincah menembus pasar. Dari berbagai pameran yang diikutinya, muncullah banyak pelanggan yang terus menerus memesan wayang buatannya. Ada yang berprofesi sebagai dalang, ada juga yang kolektor.

“Dalang-dalang di Solo sering memesan wayang di sini. Tapi sering juga mengirim untuk Dinas Pendidikan di Jawa Timur, Taman Budaya Surabaya dan bahkan ada pesanan salah satu dinas di Ngawi sampai dua kali,” terangnya.

Di luar pameran di berbagai kota, Margono juga mengikuti tren para pebisnis muda lainnya memanfaatkan internet sebagai media promosi. Di dunia maya, Margono membuat blog Sanggar Wayang Gogon yang membuat orang gampang mengenalnya. Tentu saja dia tak ketinggalan membuat akun Facebook khusus untuk sanggarnya.

Begitulah dia tak merasa perlu mengkhawatirkan soal pasar. Karena itulah Margono berani memproduksi wayang kulitnya tanpa menunggu pesanan datang. Hal ini untuk memenuhi permintaan kolektor yang ingin membeli satu set wayang komplit. Maklum, satu set wayang bisa memakan waktu hingga dua bulan untuk pengerjaannya.

“Karena itu saya selalu berusaha agar wayangnya selalu ready stock.”

Lamanya proses pembuatan dan ketelitian tinggi membuat wayang-wayang ini dihargai dengan nilai tinggi. Harga wayang kulit biasanya ditawarkan mulai dari Rp250.000 hingga Rp1,5 juta untuk satu wayang tergantung tingkat kehalusannya. Satu set wayang biasanya dijual seharga Rp80 juta, namun untuk wayang yang sangat halus dan menggunakan cat emas, harganya bisa mencapai Rp200 juta.

 

Tanpa Pameran

Harga itu merupakan harga standar untuk wayang kulit produksi mana pun. Begitu pula dengan wayang produksi Sanggar Kartoyo yang berdiri sejak 1980 lalu. Bedanya sanggar milik YB Soemarwoto ini tidak hanya menjual wayang-wayang kulit seperti yang sering dimainkan dalang, tapi juga untuk hiasan.

“Sekarang itu yang penting adalah inovasi, termasuk dalam usaha kerajinan kulit,” kata Soemarwoto di sanggarnya, Jl Mayjen Sutoyo, Madegondo, Grogol, Sukoharjo, Minggu (29/4) lalu.

Laki-laki asli Sukoharjo ini memang sudah melakukan berbagai perubahan tampilan produk kerajinannya saat ini. Dulunya pada era 1980-an hingga 1990-an, seluruh wayang produksinya memang berbentuk konvensional dengan alat pegangan tangannya. Namun akhir-akhir ini dia juga sering membuat wayang halus yang didesain khusus untuk pajangan dinding. Dilengkapi dengan bingkai kayu jati yang diukir, wayang kulit itu memang bukan untuk dimainkan.

Dengan inovasi inilah Soemarwoto mampu mempertahankan galerinya selama puluhan tahun. Bukan hanya membuat wayang koleksi, dia juga menuangkan wayang ke dalam media yang lebih kecil seperti gantungan kunci dan pembatas buku dari kulit. Bahkan Soemarwoto bukan cuma membuat wayang, tapi juga kaligrafi dan gambar rohani dengan media kulit.

“Sebenarnya sekarang apa saja saya buat kalau ada yang pesan. Bahkan saya juga bikin gambar plafon bermotif mangkunegaran,” katanya sambil menunjuk sebuah papan gipsum.

Begitulah Soemarwoto menembus pasar. Jika pengrajin lain selalu mencari kesempatan untuk mengikuti pameran, tidak demikian dengan Soemarwoto. Dia bahkan sering menolak undangan untuk mengikuti berbagai pameran di Solo. Dari pengalamannya, pameran di dalam kota tidak berdampak besar bagi kemajuan usahanya.

Selain inovasi bentuk produk, kini dia masih mengandalkan pasar Jakarta sebagai pusat pemasarannya. Di sana memang ada toko-toko suvenir dan wayang yang selalu memesan wayang ke sanggarnya. “Saya memang tidak pameran, tapi bisa juga dapat pesanan untuk daerah Sukoharjo. Misalnya saat ada kunjungan Art Ambassadors of TMII 29 Oktober 2011.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya