SOLOPOS.COM - WAYANG POTEHI- Pementasan Wayang Potehi, asal Surabaya, menghibur penonton pada Pekan Wayang Jawa Tengah 2012 di Pendhapa Ageng Taman Budaya Surakarta (TBS), Selasa (12/6/2012). (Dwi Prasetya/JIBI/SOLOPOS)

WAYANG POTEHI- Pementasan Wayang Potehi, asal Surabaya, menghibur penonton pada Pekan Wayang Jawa Tengah 2012 di Pendhapa Ageng Taman Budaya Surakarta (TBS), Selasa (12/6/2012). (Dwi Prasetya/JIBI/SOLOPOS)

Masa-masa suram telah dilalui Wayang Potehi. Dulu, medio 1970 hingga 1990-an, wayang boneka ini sulit berkembang. Pementasan wayang khas Negeri Tionghoa itu hanya terbatas di kelenteng-kelenteng. Secercah sinar menghampiri ketika era reformasi bergulir. Pengerdilan dan represi dihapus.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kini, Wayang Potehi tak sekadar manggung saat upacara kaum Tionghoa. Potehi kini telah menjadi hiburan publik, menjelma lewat pementasan di mal, rumah makan dan lain sebagainya. “Potehi sekarang bukan hanya untuk ritual semata, tapi sudah menjadi hiburan di mal, rumah pasar malam, rumah makan dan ruang publik lain,” ucap dalang Wayang Potehi asal Surabaya, Sukar Mudjiono, saat ditemui seusai pentas di Pendhapa Taman Budaya Surakarta (TBS), Selasa (12/6/2012) sore.

Bagi lelaki yang telah 30 tahun menggeluti Potehi ini, fenomena tersebut adalah berkah. Menurutnya, Potehi sudah mulai digemari masyarakat luas, tak hanya dari etnis Tionghoa. “Di sanggar saya, pegiat Potehi pun sebagian orang Jawa asli. Mereka mampu membaur bersama,” tutur pemimpin Sanggar Lima Merpati tersebut.

Pembauran juga terlihat saat pentas Lima Merpati dalam ajang Pekan Wayang Jawa Tengah. Sore itu, penonton dari etnis China tampak duduk berdampingan dengan warga lokal. Mereka menyaksikan Potehi dengan lakon ‘Sikong Watong’ yang dimainkan Mudjiono.

“Baru kali ini saya melihat langsung pentas Potehi. Sebelumnya hanya tahu di tv atau majalah. Menurut saya, wayang ini tak kalah menarik dengan wayang kulit. Ada pesan moralnya juga,” tutur Ardi, 25, warga Jebres.

‘Sikong Watong’ berkisah tentang anak raja yang sering berbuat onar. Menganggap dirinya lebih tinggi, Sikong tak menggubris nasihat orang di sekitarnya. “Simbol keangkuhan inilah yang harus dihapus demi menjaga kebersamaan,” terang Mudjiono.

Ia menambahkan, tantangan yang dihadapi Potehi saat ini adalah profesionalitas. Dengan banyaknya tawaran tampil, imbuhnya, seniman Potehi dituntut memiliki kreativitas dalam pentas. “Kalau segi cerita sebisa mungkin kami pertahankan, karena itu khas Potehi. Kami malah sedang menjajaki perpaduan musiknya, yakni dengan campursari.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya