SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pandangan Buddhis
mengenai lingkungan tercermin dari ayat suci ini: “Bagai seekor
lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun baunya,
pergi setelah memperoleh madu, begitulah hendaknya orang bijaksana
mengembara dari desa ke desa” (Dhp. 49).

Dalam ekosistem, lebah
tidak hanya mengambil keuntungan dari bunga, tetapi juga sekaligus
membayarnya dengan membantu penyerbukan. Perilaku lebah memberi
inspirasi, bagaimana seharusnya menggunakan sumber daya alam yang
terbatas (Wijaya-Mukti, 2004:418).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Apabila meneliti ke dalam
diri sendiri, akan melihat bahwa manusia memerlukan dan memiliki
mineral atau unsur anorganik lainnya. Ujar Thich Nhat Hanh
(Wijaya-Mukti, 2004:419), jangan berpikir benda-benda ini tidak
hidup. Thich mengatakan dalam kehidupan lampau adalah
tumbuh-tumbuhan, dan bahkan dalam kehidupan ini terus menjadi
pohon-pohon. Manusia bagaikan pohon dan udara, belukar dan awan. Bila
pepohonan tidak dapat hidup, manusia tidak dapat hidup pula. Ada
kontinuitas dari dunia dalam dan dunia luar, dan dunia adalah
“diri-luas” (large self). Manusia harus menjadi
“diri-luas” tersebut dan peduli terhadapnya.

Agganna-sutta
meriwayatkan hubungan timbal-balik antara perilaku manusia dan
evolusi perkembangan tumbuh-tumbuhan. Jenis padi (sali) yang pertama
dikenal berupa butiran yang bersih tanpa sekam. Padi dipetik pada
sore hari, berbuah kembali keesokan harinya. Dipetik pagi-pagi,
berbutir masak kembali di sore hari. Semula manusia mengumpulkan padi
secukupnya untuk sekali makan. Kemudian timbul dalam pikiran manusia,
bukankah lebih baik mengumpulkan padi yang cukup untuk makan siang
dan makan malam sekaligus? Pikiran berikutnya yang timbul mudah
diterka, lebih baik lagi kalau dikumpulkan untuk dua hari, empat
hari, delapan hari, dan seterusnya. Sejak itu manusia mulai menimbun
padi. Padi yang telah dituai tidak tumbuh kembali. Maka, akibat
keserakahannya, manusia harus menanam dan menunggu cukup lama hingga
padi yang ditanamnya berbuah. Batang-batang padi mulai tumbuh
berumpun. Lalu butir-hutir padi pun berkulit sekam (D. III.
88-90
).

Falsafah hidup Buddhis
menghendaki keseimbangan antara pemenuhan kepentingan materi dan
spiritual. Keseimbangan hidup semacam itu, menurut
Cakkavatti-sihanada-sutta, sekalipun kepadatan penduduk bertambah
karena tingkat kematian menurun atau harapan hidup manusia meningkat,
manusia masih dapat cukup makan (D.Ill.75).

Buddha mendekati
lingkungan alam dan hubungan manusia yang alami dilukiskan dalam
kitab suci berguna untuk menciptakan suatu atmosfer menyenangkan
dalam kehidupan di atas bumi, Buddhisme menunjukkan cara pemecahan
masalah krisis lingkungan.

Tiga peristiwa utama
menyangkut kehidupan Buddha, kelahiran, penerangan, dan kematian,
mengambil tempat di bawah pohon terbuka. Buddha menasehatkan kepada
biarawan untuk mencari-cari tempat yang luas di tengah hutan dan kaki
pohon untuk praktek meditasi. Udara menyenangkan, tenang dalam suatu
lingkungan alami dipertimbangkan sebagai sarana untuk pertumbuhan
spiritual.

Perhatian Buddha untuk
hutan dan pohon digarisbawahi dalam Vanaropa Sutta (S.I.32),
di mana konon penanaman kebun (aramaropa) dan hutan (vanaropa)
adalah tindakan yang berjasa, menganugerahkan jasa siang malam
sebagai penolong. Dengan jelas Buddha menimbang rasa bagi aspek hutan
dan pohon yang bermanfaat. Vana atau hutan dalam Dhammapada digunakan oleh Buddha sebagai perumpamaan kata-kata penuh arti
diberlakukan bagi konteks dunia saat ini: tebanglah hutan (nafsu)
sampai habis, jangan tinggalkan satu pohon pun. Dari hutan itulah
tumbuh rasa takut (Dhp.283).

Dalam Vinaya Buddha
menetapkan bahwa seorang bhikkhu yang menyebabkan kerusakan pada
tanaman dinyatakan bersalah. Ajaran Buddha mengenai sikap menghormati
dan tanpa kekerasan, tidak hanya berlaku terhadap semua makhluk
hidup, tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan. Buddha Gotama dan
siswa-Nya tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak
akan merusak tumbuh-tumbuhan. (D.I.5). Di musim hujan (vassa)
para bhikkhu melakukan “rakatan dan tidak melakukan perjalanan
menghindari kemungkinan dan menginjak tunas-tunas tanaman atau
mengganggu kehidupan” binatang-binatang kecil yang muncul
setelah hujan (Vin.I.137).

Peradaban menghendaki
hidup ini memanfaatkan sumber alam yang tersedia. Namun karena hidup
manusia bukan benalu, maka ia seharusnya berusaha memulihkan sumber
alam yang telah dipakainya. Schumacher mengatakan setiap pengikut
Buddha wajib menanam sebatang pohon setiap beberapa tahun dan
menjaganya sampai sungguh-sungguh hidup.

Sumber daya alam yang
penting adalah hutan. Hutan dengan segala isinya merupakan sumber
kehidupan. Hutan diperlukan karena menghasilkan bahan baku bagi
industri, tetapi juga merupakan paru-paru dunia. Lebih dari itu,
hutan mendapat tempat yang khusus dalam agama Buddha. Hutan adalah
tempat yang menyenangkan, baik untuk melakukan latihan meditasi. Di
sana para petapa yang telah bebas dari nafsu dan menyukai kcsunyian
akan menyepi dan merasa gembira (Dhp 99). Manusia sangat
berkepentingan untuk selalu menjaga kelestarian hutan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya