SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Undang-undang (UU) Pemilu kita, menurut J. Danang Widoyoko, Koordinator Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW) yang baru dilantik, hanya membatasi sumbangan dan mengatur akuntabilitas di partai politik (Parpol).

Jadi, tidak ada masalah kalau caleg menerima sumbangan berapapun. Apalagi yang menerima bukanlah parpol, melainkan orang pribadi, sehingga bisa diakui bahwa sumbangan itu sebagai utang piutang pribadi. Persoalan pada akhirnya bisa dianggap langsung selesai, dan tidak akan terdeteksi.
Untuk mengetahui apa yang terjadi, berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan J. Danang;

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam konteks Pemilu, apa saja kasus yang terkait money politic yang sudah masuk ke ICW?
Pertama, mungkin kita perlu lebih kritis melihat terminologi money politic. Saya kira hal itu perlu kita revisi ulang karena muncul dalam konteks Pemilu pada masa Orde Baru. Itu barangkali semacam penghalusan atau eufemisme dari pembelian suara.

Sebetulnya yang terjadi bukan money politic, tapi bagaimana kandidat atau calon legislatif (caleg) dalam Pemilu membeli suara para pemilih. Dalam konteks ini sungguh menyedihkan karena kemudian pembelian suara menjadi fenomena yang meluas. Hampir semua partai politik (Parpol) melakukannya.
Ini yang kemudian menjadi sangat menyedihkan karena Pemilu diterjemahkan menjadi saat untuk membeli suara.

Apakah hal itu juga merepresentasikan daftar pemilih tetap (DPT) kita saat ini?
Semestinya dalam konteks ini, DPT menjadi suatu yang tidak penting karena sekadar administrasi untuk melakukan Pemilu. Dalam praktiknya yang penting adalah bagaimana membeli suara itu,  sedangkan yang menjadi masalah adalah ketika sudah membeli, ternyata tidak bisa memilih.

Itu yang kemudian menimbulkan masalah bagi caleg, karena sudah membeli suara, sudah banyak mengeluarkan uang tapi kemudian mereka tidak masuk dalam DPT, sehingga tidak bisa memberikan suaranya. Terlepas dari soal ini, sebetulnya DPT hanya diperlukan lima tahun sekali ketika Pemilu. Habis itu tidak ada lagi ikatan antara anggota legislatif dengan konstituen yang memberikan suaranya. Jadi relasinya sekadar jual-beli. Apakah mereka ini wakil rakyat atau wakil uang?

Dari mana carut marut ini dimulai?
Kalau kita telusuri lagi, ini dampak dari kebijakan masa mengambang pada masa orde baru. Jadi tidak ada organisasi yang cukup efektif yang bisa menjangkau hingga masyarakat di akar rumput. Yang ada hanya militer dan birokrasi tapi keduanya sudah tidak ikut Pemilu. Lalu, yang tersisa adalah partai-partai yang pada masa orde baru kepengurusan cabangnya hanya diperkenankan sampai tingkat kabupaten dan kecamatan. Tidak boleh lebih dari itu.

Apakah peraturan itu sebaiknya direformasi agar pengurus Parpol sampai ke akar rumput?
Sebetulnya tidak ada halangan lagi. Tetapi tidak mudah untuk merevitalisasi organisasi yang sudah terlanjur demikian mengakar. Kita akan menghadapi problem keterwakilan lagi. Orang-orang tidak merasa diwakili. juga tidak merasa mewakili konstituen karena mereka hanya mewakili uang. Kemudian, apakah mereka wakil para cukong atau wakil mereka yang memiliki uang banyak?

Kalau saya seorang pengusaha dan ingin mendapatkan proyek-proyek pemerintah, sekarang saat saya menyemai benih, melakukan investasi dalam bentuk memilih caleg populer yang ada kemungkinan menang kemudian saya sumbang mereka. Kalau sekarang ini mengambil proyek pemerintah dan melakukannya dengan cara menyuap lewat pengadaan, itu terlalu berbahaya.
Ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa menangkap, dan kejaksaan galak juga walaupun dalam banyak kasus mereka tidak mau meneruskan ke pengadilan tapi mungkin bisa habis-habisan diperas jaksa.

Bagaimana mekanisme sumbangan ke parpol?
Itu yang menjadi kerumitan baru. Ini implikasi dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan aturan ini. Yang mendapatkan kursi adalah mereka yang mendapatkan suara terbanyak.
Ini berimplikasi bahwa yang membeli suara adalah kandidat bukan Parpol. Sayangnya, MK hanya mengubah satu pasal, tidak mengubah keseluruhan sistem Pemilu. Aturannya, yang wajib transparan, akuntabel, dan diaudit adalah Parpol.

Sementara itu, kini uang tidak berada di Parpol, uang berada di kandidat. Ini yang banyak terungkap di berbagai daerah bagaimana caleg kemudian saling jor-joran. Kompetisinya antar caleg, bahkan dalam satu Parpol. Parpol hanya formalitas saja yang penting adalah caleg dan bagaimana caleg keluar ’belanja’. Ini tidak diatur dalam undang-undang (UU) Pemilu kita. UU hanya membatasi sumbangan, mengatur akuntabilitas itu di Parpol.

Padahal UU Pemilu tidak bisa hanya dilihat pasal per pasal, ini keseluruhan sistem. Kemudian kalau di dalam UU Parpol untuk batas maksimum sumbangan kepada Parpol adalah Rp1 miliar bagi perorangan. Sedangkan bagi korporasi adalah Rp5 miliar. Hal Itu kemudian tidak berlaku kalau yang menerima adalah caleg. Jadi ada kekosongan hukum.

Implikasi terburuk yang harus diperhatikan adalah kelompok bisnis yang mempunyai uang akan berkontribusi banyak kepada caleg. Nanti mereka bukan lagi wakil rakyat, tapi wakil uang. Dampak berikutnya banyak program dan proyek pemerintah akan jatuh kepada kelompok bisnis tertentu.

Apakah pembelian suara makin menjadi-jadi di Pemilu 2009 dan kian sulit menjadi kenyataan?
Pekerjaan yang sangat susah. Pertama, dari sisi masyarakatnya kita harus memberikan pendidikan bahwa mereka tidak boleh menerima lagi. Problemnya adalah para caleg tidak mempunyai organisasi yang mengakar sampai ke bawah, tidak ada program dan ideologi yang bisa ditawarkan dan mengikat para pemilih tersebut. Jalan pintasnya dengan membeli suara. Ke depan harus diubah.

Orang orang yang bagus harus memulai membangun organisasi, membangun jaringan ke bawah. Kalau dia mau memberi uang silakan, tapi tidak akan mampu bersaing dengan preman lokal, pengusaha lokal, pengusaha kroni yang besar. Awalnya saja sudah kalah. Saya kira kuncinya bagaimana membangun organisasi dari bawah.

Setelah itu kita harus pastikan siapa yang memberikan sumbangan kepada para capres. Ini penting agar jangan sampai nanti presiden terpilih mengeluarkan kebijakan yang memberikan perlindungan, fasilitas dan preferensi kepada kelompok bisnis tertentu.

Apakah artinya tidak berpihak kepada rakyat?
Ya. Katakanlah penyumbang itu berkontribusi besar dan kemudian terlibat korupsi, saya yakin kasusnya akan macet, tidak akan ditindak lanjuti oleh penegak hukum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya