SOLOPOS.COM - Ilustrasi pernikahan dini. (Freepik).

Solopos.com, SRAGEN—Salah satu dampak yang dominan dalam pernikahan usia anak adalah anak yang terlahir dengan stunting. Hal tersebut disebabkan karena belum adanya kesiapan secara fisik dan emosional.

Stunting sendiri adalah sebuah kondisi dimana tinggi badan seseorang ternyata lebih pendek dibanding dengan tinggi badan orang pada umumnya, yang seusianya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kepala Bidang Keluarga Berencana, Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga DPPKBP3A Sragen, Windu Nugroho, mengatakan pada dasarnya risiko pernikahan diri adalah anak yang terlahir stunting. Karena pola asuh orang tua yang tidak maksimal.

“Penyebab adanya stunting salah satunya adalah praktik pengasuhan yang tidak baik, yang mengakibatkan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan masa kehamilan. Sebanyak 30% anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI eksklusif, kemudian dua dari tiga anak usia 0-24 bulan tidak menerima makanan pendamping ASI,” terang Windu saat ditemui Solopos.com beberapa waktu waktu.

Kemudian kurangnya akses makanan yang bergizi, satu dari tiga hamil mengidap anemia atau kekurangan sel darah merah. Serta makanan bergizi dianggap mahal.

Windu menambahkan kemudian kurangnya akses terhadap akses air bersih dan sanitasi, satu dari lima rumah tangga masih buang air besar di ruang terbuka. Satu dari tiga rumah tangga belum memiliki akses terhadap air bersih.

“Ciri-ciri stunting tersendiri adalah anak lebih pendek dari anak seusianya, pertumbuhan melambat, pertumbuhan gigi terlambat, wajah tampak lebih muda dari anak seusianya, peforma buruk pada kemampuan fokus dan memori belajarnya, usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan kontak mata terhadap orang sekitarnya, berat badan balita tidak naik bahkan cenderung turun, perkembangan tubuh anak terhambat, seperti telat menstruasi pertama anak perempuan, dan anak mudah terserang berbagai penyakit infeksi,” tambah Windu.

Kurangnya pengetahuan terhadap pola asuh tersebut, menyebabkan pemberian gizi terhadap anak tidak maksimal sehingga menjadikan anak berisiko stunting.

Windu menambahkan paling tidak calon pengantin yang ingin melangsungkan pernikahan harus dan wajib mengikuti kelas sebelum pernikahan di KUA setempat.

“Salah satu dampak dari penikahan usia anak adalah anak yang lahir yang berisiko stunting. Selain itu risiko kematian ibu dan bayi lebih tinggi, langgengnya kemiskinan, memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan tidak terpenuhinya hak anak,” terang Aktivis Perlindungan Anak dan Perempuan Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Sragen, Dyah Nursari, kepada Solopos.com, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, untuk melangsungkan pernikahan tidak hanya dilihat dari usia menikah menurut UU Perkawinan yaitu 19 tahun baik untuk laki-laki atau perempuan. Namun juga membutuhkan kesiapan diri dari mental, kesehatan, dan ekonomi dari masing-masing pihak.

Sebagai informasi, meningkatnya angka pernikahan dini di Sragen ini bisa dilihat dari terus bertambahnya jumlah permohonan dispensasi pernikahan yang diterima Pengadilan Agama (PA) Sragen.

Pada 2019, permohonan dispensasi perkawinan ini tercatat 151 pemohon.

Angkanya meroket pada 2020 dengan 349 permohonan. Pada 2021, kembali bertambah menjadi 363 permohonan dispensasi perkawinan.

Data tersebut diperoleh dari Panitera PA Kelas IA Sragen, H.A. Heryanta Budi Utama, beberapa waktu lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya