SOLOPOS.COM - Istana Pura Mangkunegaran. (Puromangkunegaran.com)

Solopos.com, SOLO – Mangkunegaran adalah suatu kadipaten yang pada zaman dulu menjadi wilayah istimewa di bawah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Berdasarkan catatan sejarah, Praja Mangkunegaran diperoleh melalui perjuangan Raden Mas Said yang dikenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa.

Kisah perjuangan itu tercatat dalam Babad Panambangan. Kala itu, Raden Mas Said yang kemudian menjadi penguasa pertama Pura Mangkunegaran sangat gigih berjuang melawan pemerintahan Belanda.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Praja Mangkunegaran lahir setelah penandatanganan Perjanjian Salatiga antara Raden Mas Said, Sunan Pakubuwana II, Kesultanan Jogja, dan pihak Velanda. Raden Mas Said pun naik takhta sebagai penguasa Mangkunegaran yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunagoro I.

Baca juga: Jelajah Pura Mangkunegaran, Istana Megah di Kota Solo

Pada masa kepemimpinannya, dia membangun budaya polisik baru yang memadukan budaya Mataram dan pengalamannya bergerilya selama 24 tahun. Dalam budaya politik Mataram, negara menyatu dengan raja. Dalam budaya Mataram, raja adalah Khalifatullah yang dapat disejajarkan dengan wakil Tuhan di dunia. Sebagai wakil Tuhan, sang penguasa memilik jarak sosial dengan rakyat.

Sementara itu dilansir dari situs resmi Pura Mangkunegaran, Kamis (3/3/2022), dalam budaya politik Mangkunegaran, keberadaan penguasa terjadi karena rakyat. Sehingga raja dan rakyat mesti bersatu, sebagaimana pengalaman Raden Mas Said melawan penjajah belanda bersama 18 pengikut setianya.

Baca juga: Ini Alasan Bhre Cakrahutomo Dipilih Jadi Penerus Mangkunegaran

Tri Dharma Mangkunegaran

Berdasarkan cerminan perjuangan Raden Mas Said, budaya politik yang dikembangkannya adalah Tri Dharma atau tiga kebaktian. Tri Dharma itu meliputi, mulat sarira hangrasawani, rumangsa melu handarbeni, dan melu hangrungkebi.

Mulat sasrira hangrasawani merupakan candrasengkala tahun pendirian Mangkunegaran yaitu 1682 Saka atau 1757 Masehi. Mulat sarira artinya memahami diri sendiri dengan cara introspeksi diri agar mampu mengatasi berbagai hambatan yang menghalangi perbaikan pribadi. Mulat sarira bukan hanya sebagai semboyan, tetapi juga menjadi pedoman utama bagi rakyat saat mendirikan Praja Mangkunegaran.

Selanjutnya rumangsa melu handarbeni. Semboyan ini disampaikan oleh Raden Mas Said setelah dinobatkan menjadi Mangkunegara I. Prinsip ini disampaikan Mangkunegara I kepada para pengikutnya untuk diteruskan kepada keturunan dan rakyat di tlatah Mangkunegaran.

Baca juga: Bhre Cakrahutomo Jadi Mangkunegara X, Apa Tugasnya?

Melalui cara ini, Mangkunegara I berupaya menyadarkan kepada para pengikut dan rakyatnya bahwa Mangkunegaran adalah milik bersama sebagai tempat memperoleh sumber kehidupan dari tanah yang berada di tlatah Mangkunegaran.

Ketiga yaitu melu hangrungkebi. Dalam ajaran ini antara raja dengan rakyat bersama-sama berkewajiban mempertahankan Praja Mangkunegaran. Telah ada kesepakatan untuk merasa memiliki yang dilandasi pada pemikiran di masa perjuangan, maka semua rakyat Mangkunegaran wajib berjuang mempertahankan Praja Mangkunegaran jika diserang musuh. Azas ketiga ini merupakan embrio lahirnya nasionalisme di Nusantara.

Budaya politik Tri Dharma merupakan penjabaran dari semboyan perjuangan Mangkunegara I yang dikenal dengan tiji tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. Semboyan ini memiliki makna bahwa Raden Mas Said dan pengikutnya akan saling bekerja sama membangun kesetiaan untuk berjuang mencapai kemenangan, hasilnya Praja Mangkunegaran sebagai “rumah bersama.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya