SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

Insan pers Tanah Air akan memperingati Hari Pers Nasional pada Kamis (9/2/2012) mendatang. Namun, hari penting itu tidak hanya diperingati oleh wartawan sungguhan, wartawan abal-abal pun turut berpartisipasi.

Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Wartawan bodreks, sebutan untuk orang-orang yang mengaku sebagai wartawan namun tidak mempunyai media dan produk jurnalistik sebagaimana diamanatkan UU Pers, sudah lama beraksi di mana-mana untuk kepentingan pribadi. Momentum peringatan Hari Pers pun dimanfaatkan untuk mencari uang. Banyak wartawan abal-abal yang berkeliaran di instansi-instansi milik pemerintah. Selain menarik imbalan atas “berita” yang dijanjikan, mereka menjadikan Hari Pers sebagai dalih untuk memaksa narasumber memasang iklan.

SMKN 1 Solo, adalah salah satu korban wartawan bodreks ini. Pada awal Januari lalu, ada dua orang yang mengaku wartawan Mitra Pos, Semarang yang menawari berita profil sekolah dengan tarif tertentu. Namun setelah pihak sekolah membayar Rp750.000, dua orang tersebut tidak pernah ada kabarnya lagi. “Iklannya juga tidak pernah dimuat. Padahal mereka saat menawarkan itu juga sambil memaksa. Bahkan, saya sampai ditunggui berjam-jam tidak boleh pergi. Kami membayar itu lebih karena risih,” kata Kepala SMKN 1 Solo, Drs Suyono, akhir pekan lalu.

Belajar dari pengalaman itu, pihaknya kini lebih berhati-hati saat berhubungan dengan wartawan tidak jelas tersebut. Kebetulan, Jumat lalu sekolahnya kembali didatangi dua orang yang mengaku wartawan Suara Demokratis dan menawari hal serupa. Berdalih dalam rangka hari pers, dua laki-laki tersebut menawarkan iklan namun dengan nada memaksa. “Saya bilang ke semua guru agar ditolak saja, dan benar-benar ditolak. Tapi setelah tawaran iklan itu ditolak akhirnya mereka secara terang-terangan meminta uang saku. Karena sudah risih, oleh salah satu guru akhirnya diberi Rp 100.000 dan mereka pun pergi,” lanjut dia sembari menunjukkan kuitansi pemberian uang.

Suyono mengaku, salah satu rekannya sesama kepala sekolah juga mengalami nasib serupa. “Bahkan nilainya lebih besar, beberapa hari lalu kena Rp1,2 juta,” katanya. Yang lucu, dari blangko penawaran iklan yang ditinggal wartawan gadungan itu, tertulis Dirgahayu Hari Pers Nasional 13 Pebruari 2012. Padahal, Hari Pers diperingati tiap tanggal 9 Februari, bukan 13 Februari.

Salah satu guru swasta di wilayah Sangkrah, Pasar Kliwon yang enggan disebutkan namanya membenarkan saat ini wartawan bodreks kian marak. Modus yang dipakai adalah mengorek proyek yang dikerjakan sekolah. “Hampir tiap hari kami didatangi, orangnya berganti-ganti. Tapi setelah kami ngotot bahwa tidak ada penyimpangan di sekolah, mereka ujung-ujungnya minta uang saku. Dikasih Rp20.000 langsung pergi,” tutur guru tersebut.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo Danang Nur Ihsan meminta narasumber berani menolak jika ada wartawan yang datang meminta uang. “Kuncinya memang di keberanian nara sumber. Tidak perlu takut dengan wartawan bodreks. Wartawan yang asli tidak pernah meminta-minta atau mengancam. Kalau ada yang mengaku-aku sebagai wartawan dan meminta secara paksa tak perlu segan untuk melaporkan ke kepolisian karena hal itu sudah masuk tindak pidana,” tandasnya.

Dalam melakukan proses proses jurnalistik, lanjut Danang, wartawan hanya mencari berita, bukan mencari iklan apalagi meminta uang. “Jangankan meminta, sesuai Kode Etik Jurnalistik wartawan tidak diperkenankan menerima suap atau pemberian dari narasumber,” tutupnya.

JIBI/SOLOPOS/Abu Nadhif

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya