SOLOPOS.COM - Arif Yudistira (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO –– Geram dan marah. Itulah ekspresi yang bisa kita saksikan di warung angkringan, pada obrolan pinggir jalan wong cilik saat ini. Di tengah harga-harga bahan pokok yang naik dan tidak bisa turun, mereka disuguhi berita yang bikin muak. Ngelus dhadha, prihatin, mereka pasrah sembari terus bekerja seperti biasa.

Belum usai sakit hati rakyat akibat kelakuan mafia minyak goreng, kini rakyat dibuat sakit hati oleh ”drama” pembunuhan seorang polisi muda berpangkat brigadir. Pembunuhan di rumah seorang jenderal polisi. Tata kelola negara yang semrawut ini membuat rakyat makin jengah dan jemu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Negeri yang kaya raya disulap menjadi negara pengemis sekaligus negara korup. Demokrasi yang katanya menjunjung tinggi kebebasan kini dikangkangi oleh para perampok. Negara yang katanya negara hukum justru menampakkan hukum dipermainkan oleh orang-orang yang mengerti hukum, memiliki kekuasaan, dan berlimpah uang.

Negara yang besar dan kaya raya ini tidak berdaya karena terlilit utang yang kian membengkak. Pada 2021 tercatat Indonesia memiliki utang Rp6.681 triliun. Sumber daya alam dijarah dengan melegalkan investor asing membawa kekayaan kita ke luar negeri.

Ekspedisi Mudik 2024

Subsidi untuk rakyat dipotong habis-habisan bahkan ditiadakan. Penyerahan harga pada mekanisme pasar tanpa campur tangan negara. Para pendiri bangsa kita sebenarnya sudah merumuskan pokok-pokok tata kelola negara yang baik dengan Pasa 33 UUD 1945 sebagai dasar mengelola sumber daya alam kita.

Segala sumber kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Pengelolaan sumber daya alam ada di tangan negara. Negara sebagai pengelola sumber daya alam tidak boleh begitu saja menyerahkan kepada swasta atau pasar.

Warisan Soeharto yang bisa kita lihat dampaknya sampai sekarang adalah swastanisasi atau liberalisasi ekonomi. Konsep liberalisasi berbeda dengan konsep ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila memberi kewenangan kepada negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Logika liberalisasi ekonomi adalah pro privatisasi sumber daya alam dan digunakan untuk kepentingan golongan tertentu (pemilik modal).

Salah satu doktrin neoliberalisme adalah penghilangan peran negara dalam mengelola ekonomi dan sumber daya alam. Sejak rezim Orde Baru berkuasa, Indonesia terjatuh dalam jurang privatisasi dan penanaman modal asing. Logika merdeka 100% yang diperjuangkan Tan Malaka kian tidak ada suaranya.

Semakin lama sumber daya kita semakin dikuasai dan diserahkan sepenuhnya kepada anasir asing. Peran negara yang dihapuskan ini kian kentara saat kita tidak bisa menentukan harga yang sebenarnya kita kuasai. Banyak sumber daya alam seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam justru dikuasai oleh asing.

Kita memiliki kelapa sawit terbanyak ketiga di dunia, tetapi harga minyak goreng tidak bisa kita atur semurah mungkin untuk rakyat. Fenomena ini hanya salah satu yang menonjol dari ketidakberdayaan negara di hadapan mafia dan cukong yang mempermainkan harga dan menguasai sumber daya alam.

Mengangkangi Demokrasi

Warisan Soeharto yang bisa kita lihat sampai sekarang adalah impunitas aparat negara, terutama militer dan polisi yang kala itu menjadi satu institusi. Rezim Orde Baru tidak hanya dibangun dan dikukuhkan oleh militer. Rezim ini dilindungi dan menggunakan militer sebagai alat untuk mengamankan kekuasaan.

Selama 32 tahun, Soeharto berhasil menggunakan militer sebagai alat paling masif untuk mengamankan kekuasaan. Demonstrasi dan aneka protes direspons dengan penculikan, penghilangan orang, dan memenjarakan orang-orang di kelompok oposisi.

Selama 32 tahun itu pula, rezim militer adalah rezim paling absah menggunakan senjata untuk membunuh rakyat sendiri. Bedil dianggap sebagai tameng paling ampuh untuk merespons kelompok atau orang yang melancarkan kritik atau protes. Banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan rezim militer Orde Baru menghilang tanpa bekas.

Militer tidak hanya digunakan untuk melindungi kebijakan Orde Baru, tetapi digunakan pula untuk melindungi kepentingan asing yang dibawa ke Indonesia. Kita bisa mengingat peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 atau Malari. Ini adalah peristiwa penting tentang militer yang digunakan untuk mengamankan kepentingan asing, bukan melindungi rakyat.

Senjata yang dikuasi aparat negara itu tidak digunakan untuk membunuh musuh rakyat atau penjarah yang merampok kekayaan kita, tetapi malah digunakan untuk melindungi para cukong dan mafia. Kepolisian yang dianggap sebagai simbol penegakan hukum dan keadilan justru menjadi rezim terdepan melangar nilai-nilai dan norma hukum.

Kasus pembunuhan seorang brigadir polisi yang dramanya makin absurd dan tak kunjung usai menjadi cermin bahwa senjata adalah simbol kedigdayaan (keangkuhan) sekaligus simbol betapa lekatnya kekerasan di kepolisian.

Yang dilakukan Soeharto pada masa silam, membentuk rezim militeristik yang penuh dengan teror (ancaman), penuh dengan kekerasan, penuh dengan intrik dan penuh dengan darah, seperti  dihadirkan kembali.

Seorang jenderal polisi yang membunuh seorang brigadir polisi menunjukkan watak momok hiyong seperti dalam sajak yang ditulis Widji Thukul: …bikin kacau dia ahlinya / akalnya bulus siasatnya ular / kejamnya sebanding nero / sefasis hitler sefeodal raja kethoprak / luar biasa cerdasnya /di luar batas culasnya / demokrasi dijadikan bola mainan / hak asasi ditafsir semau gue.

Soeharto memang telah mati, tapi watak dan keculasannya seperti beranak pinak kembali. Kejahatan dan polah tingkah buah rezim yang dia bangun masih kita saksikan hingga hari ini. Korupsi, menembak mati yang tidak disenangi, mengangkangi kekuasaan dan demokrasi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Septembar 2022. Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat di Kota Solo dan kader Muhammadiyah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya