SOLOPOS.COM - Seorang pekerja menuangkan seember butiran biji klenteng ke bak penggilingan di tempat penyulingan minyak di Dukuh Bunder, Desa Kedungwaduk, Karangmalang, Sragen, Sabtu (12/3/2022). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Di tengah tingginya harga minyak goreng di pasaran, warga Dukuh Bunder RT 015, Desa Kedungwaduk, Kecamatan Karangmalang, Sragen, Sukarno, 49, mengolah biji kapuk randu yang dikenal dengan nama klenteng menjadi minyak goreng alternatif. Produksi minyak klenteng itu ternyata sudah berlangsung sejak lima tahun terakhir.

Sukarno semula usaha jualan kapuk randu untuk pembuatan bantal, guling, dan kasur. Kapuk-kapuk itu didatangkan dari Ponorogo, Jawa Timur (Jatim). Setiap pekan, Sukarno kulakan kapuk randu itu sampai empat ton. Bila stok kapuk randu di Ponorogo habis, Sukarno mengambil kapuk randu itu ke Pati.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ia sudah menjalani usaha ini selama 10 tahun terakhir. Di tengah perjalanan usaha itu ada permintaan klenteng dari Semarang. Biji klenteng itu kemudian dikumpulkan yang jumlahnya hingga lima kuintal.

Baca Juga: Pedagang di Sragen Minta Minyak Goreng Subsidi Masuk Pasar Tradisional

Ekspedisi Mudik 2024

“Setelah saya kirim klenteng ke Semarang, ternyata biji itu bisa diolah menjadi minyak. Kemudian saya coba-coba untuk usaha penyulingan minyak klenteng itu,” ujar Sukarno saat berbincang dengan Solopos.com, Sabtu (12/3/2022).

Sukarno kemudian mencari mesin pengolah klenteng menjadi minyak. Ia mencari-cari di Facebook dan akhirnya pesan ke Muara Baru Jakarta. Sebenarnya barang tersebut dipesan dari Tiongkok.

Saat itu, Sukarno masih ingat harganya senilai Rp42 juta per unit. Ia memesan dua unit. Mesin penyuling minyak klenteng itu masih dioperasionalkan sampai sekarang.

“Sekarang harga mesin itu bisa sampai Rp80 juta per unit. Untuk motor penggeraknya saya menggunakan mesin truk Fuso. Satu mesin dioperasional satu orang. Dalam pengolahan minyak itu saya memiliki tiga karyawan, yakni dua operator mesin dan satu penyaring klenteng. Lima orang karyawan lainnya pengolah kapuk,” jelas Sukarno.

Baca Juga: Operasi Pasar Minyak Goreng di Kedawung Sragen, Warga Dapat 2 Liter

Rasanya Lebih Gurih

Dari dua unit mesin penyuling minyak klenteng itu, Sukarno bisa memproduksi 200 kg minyak per hari yang didapat dari sekitar 2.000 kg biji klenteng. Minyak itu dijual Rp17.000/kg.

“Jadi minyak yang dihasilkan itu sekitar 20% dari total bahan biji klenteng. Selain menghasilkan minyak, mesin itu juga menghasilkan ampas klenteng yang bermanfaat untuk pakan ternak. Ampas klenteng itu pun sudah dipesan tiga pabrik dan pengiriman mencapai 8,5-9 ton per tiga pekan sekali dengan harga Rp3.500/kg,” ujarnya.

Sukarno sempat mengolah minyak klenteng itu menjadi minyak konsumsi masyarakat, yakni minyak goreng. Minyak klenteng itu harus melalui tiga kali proses penyaringan untuk bisa dimanfaatkan menjadi minyak goreng.

“Dulu memang inginnya dikembangkan untuk produk minyak goreng kemasan tetapi izinnya ternyata susah sehingga niatan itu saya urungkan dan memilih bermain di minyak curah,” jelasnya.

Baca Juga: Gandeng Bulog, Dinas KUKM Perindag Wonogiri Gelar OP Minyak Goreng

Dia menerangkan sekarang permintaan minyak klenteng itu bisa sampai enam ton per 35 hari dikirim ke Jakarta dan satu ton untuk permintaan pasar Magelang dan Semarang.

“Minyak klenteng ini rasanya lebih gurih. Untuk pengawetan bakmi juga tidak berbau tengik sepertik minyak sawit. Saya pernah mencoba minyak itu untuk konsumsi sendiri dan rasanya lebih gurih dan tidak ada campuran sama sekali,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya