SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Ribuan warga tumpah ruah di sepanjang jalur pedestrian Jl. Slamet Riyadi ruas Stadion Sriwedari hingga depan Kantor Dinas Pariwisata (Dispar) Kota Solo, Minggu (17/2/2019) pagi.

Mereka mengantre aneka jenang yang tersaji dalam Semarak Jenang Sala 2019. Festival yang digelar tahunan itu diikuti 274 stan dari pasar, BUMN, sekolah, instansi, dan masyarakat.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Setiap stan menyediakan 100 takir ditambah 1.000 takir lagi dari panitia sehingga total jenang yang dibagikan mencapai 28.400 takir. Berdasarkan pantauan Solopos.com, area itu dibebaskan dari aktivitas pedagang kaki lima (PKL) car free day (CFD).

Sebagai gantinya, stan jenang mengokupansi sebagian jalur pedestrian itu. Semarak jenang dilaksanakan setelah upacara peringatan HUT ke-274 di Stadion Sriwedari.

Upacara kemudian disusul kirab 17 jenang sarat filosofi ke Plaza Sriwedari. Upacara dan kirab diikuti Forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).

Kepala Dispar Solo, Hasta Gunawan, mengatakan tema festival jenang tahun ini adalah Pesona Jenang Majemukan. Ke-17 jenis jenang yang dikirab adalah jenang sengkolo, jenang abang putih, jenang katul, jenang lemu, jenang sepasaran, dan jenang timbil.

Berikutnya, jenang rangrang, jenang taming, jenang sumsum, jenang grendul, jenang pati, dan jenang kala. Terakhir, jenang majemukan, jenang saloka, jenang warni empat, jenang mrocot, dan jenang lahan.

Di Plaza Sriwedari, pengunjung yang hadir juga dapat mengikuti workshop mengolah jenang atas kerja sama Pemkot dengan Indonesian Chef Association Surakarta.

“Seribu jenang dari panitia ditempel ke replika Tugu Pasar Gede sebagai ikon Kota Solo. Setelah prosesi singkat mengaduk jenang oleh Wali Kota dan Wakil Wali Kota, jenang tersebut boleh diperebutkan masyarakat,” kata Hasta.

Selain jenang, masyarakat juga mendapatkan sajian buah-buahan lokal bekerja sama dengan Dinas Pertanian. Wali Kota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo, mengatakan penulisan kata Sala pada logo dan tema rangkaian acara bukanlah tanpa alasan.

Kota Solo orisinalnya adalah Sala yang berangkat dari nama desa bernama Sala. Dalam sejarahnya, ada tiga desa yaitu Desa Sala, Desa Kadipolo, dan Desa Sana Sewu yang bisa dijadikan tempat pemerintahan baru Keraton Mataram setelah terjadi peperangan.

Setelah perundingan, Desa Sala terpilih menjadi pusat pemerintahan yang diikuti boyongan pada 1745. “Mengapa penyebutannya sekarang Kota Solo bukan Kota Sala, itu dari orang-orang Belanda dalam penyebutan. Lidah mereka susah untuk menyebutkan Kota Sala, jadi menyebutnya Kota Solo. Karena itulah masyarakat Indonesia mengikuti kebiasaan tersebut dan menyebut Sala menjadi Solo,” kata Rudy dalam sambutan Semarak Jenang Sala 2019.

Ihwal aneka jenang yang tersaji, dia menyebut filosofi muara dari jenang-jenang itu adalah bahan dasarnya sama yakni beras (satu jenis). “Saat anak lahir, menyajikan jenang. Tujuannya agar anak itu menjadi anak yang baik, lurus, dan berbudi pekerti luhur. Selain itu bagaimana agar kita sebagai orang Solo tetap menjaga kesatuan. Lima budaya hidup mewujudkan Solo lebih baik, gotong royong, menjaga, merawat, memiliki, dan mengamankan, dimulai dari keluarga,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya