SOLOPOS.COM - Ayah dan ipar pilot Heri Setiawan menunjukkan foto almarhum di rumah keluarga, Dusun Margosari, Pengasih, Kamis (21/6) malam. (JIBI/Harian Jogja/MG Noviarizal Fernandez)

Ayah dan ipar pilot Heri Setiawan menunjukkan foto almarhum di rumah keluarga, Dusun Margosari, Pengasih, Kamis (21/6) malam. (JIBI/Harian Jogja/MG Noviarizal Fernandez)

“Mas, aku mau ikut tes IPDN, tapi biaya untuk pendaftaran seleksinya Rp1 juta. Bagaimana mas? Mau dilanjutkan apa tidak,”

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

“Ya sudah diteruskan saja. Soal biaya itu bisa diatur kemudian. Yang penting fokus untuk mengikuti seleksi.”

Itulah potongan percakapan antara Fitri Indah Setyaningrum, 17, dan kakaknya Mayor Pnb Heri Setiawan, Kamis (14/6) pekan lalu. Remaja putri yang baru menamatkan pendidikan di SMA tersebut memang berniat untuk melanjutkan studi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Tujuan menelepon kakaknya, tidak lebih sebagai upaya untuk berkonsultasi.

Tanpa diduga, seminggu kemudian, sang kakak tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat di Jakarta. Keluarga di Margosari, Pengasih, langsung tersentak, termasuk Fitri. Saat ditemui, mata gadis berkulit kuning langsat tersebut terlihat sembab. Rasa sedih yang mendalam tergurat jelas di wajahnya.

“Mas Heri itu kakak yang baik dan pengertian. Meski keras, tapi dia penyayang sama saudari dan keluarga, apalagi ibu,” jelas Fitri, sambil menangis sejadi-jadinya.

Kepergian Heri juga meninggalkan luka yang mendalam bagi sang ibu, Juminatun, 57. Begitu melihat berita jatuhnya pesawat bernomor 27, sang ibu langsung panik dan menghubungi anak sulungnya, Neneng Tri Setyawati. Hingga Kamis malam, sang ibu masih shock berat dan terus menangis.

Dari luar, suara tangisannya terdengar lirih dan pilu. Sehari sebelumnya, Juminatun merasakan suatu firasat.” Waktu tidur, dia merasa ada yang meniup wajahnya. Tadi pagi [kemarin] dia cerita ke saya tapi tidak saya tanggapi,” kata Samidi, 65, ayah Heri.

Di mata keluarga, Heri memang merupakan pribadi yang baik dan penyayang. “Dia terakhir kali pulang saat Lebaran kemarin. Datang sekeluarga. Biasanya pulang saat Lebaran tiap dua tahun sekali, karena gantian mudik ke rumah mertuanya di Sampit, Kalimantan Tengah,” jelas Dwi Riyanto,40, ipar Heri.

Sejak masih belia, Heri memang sudah bercita-cita menjadi anggota militer. Setamat SMP Negeri I Wates, ia mengikuti seleksi SMA Taruna Nusantara.” Katanya kalau masuk ke sekolah itu 50 persen bisa diterima di Akademi Akabri [Akmil]. Tapi waktu pantohir dia tidak lulus,” kenang Samidi.

Meski demikian, tekat putranya tidak luntur. Setama SMA Negeri I Wates, dia sempat mengenyam pendidikan Teknik Elektro di UGM. Tapi begitu ada kesempatan mengikuti tes AAU dan dinyatakan lulus, bangku UGM ia tinggalkan dan mantap menjadi perwira AU.

Selepas pendidikan militer, Heri ditugaskan di Lanud Adisutjipto. Dia sempat mengikuti pendidikan penerbang lanjutan dan menjadi instruktur penerbang, hingga akhir hayatnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya