SOLOPOS.COM - Warga duduk lalu berdoa bersama di Makam Puroloyo di Tunggulsari, Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Minggu (20/3/2022). Usai berdoa, warga pun saling mengambil makanan di tenongan tanpa memandang siapa pemiliknya. (Solopos.com/Ni'matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Ratusan orang berduyun-berduyun datang menuju makam Puroloyo, Tunggulsari, Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Minggu (20/3/2022) pagi. Beberapa di antaranya menyunggi tenongan berdiameter sekitar 80 sentimeter kemudian menaruhnya ke area kosong di sekitar makam.

Tenongan yang dibawa warga dibuat berjejer. Salah satu sesepuh memimpin doa dan zikir tahlil. Usai berdoa, warga pun saling mengambil makanan di tenongan yang ada tanpa memandang siapa pemilik tenongan tersebut. Dari rumah, beberapa orang juga sudah membawa tas kresek untuk membawa makanan dalam tenongan.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

“Ini adalah kegiatan tenongan, bagian dari kegiatan Sadranan. Kegiatan diadakan setiap tahun per bulan Syakban. Di Sukabumi hanya sekali pada 15 Syakban. Kalau di tempat lain ada yang bulan Sapar dan Mulud,” kata ketua pemuda Tunggulsari sekaligus panitia acara Sadranan, Suko Wiyono, kepada Solopos.com saat ditemui di Makam Puroloyo saat kegiatan berlangsung.

Baca Juga: Makam Beteng Boyolali Diresmikan Jadi Wisata Religi untuk Umum

Ekspedisi Mudik 2024

Suko mengungkapkan warga yang mengikuti sadranan di Makam Puroloyo tidak hanya warga Sukabumi. Namun ada juga warga di Desa Mliwis dan Tumang karena leluhur mereka juga dimakamkan di Makam Puroloyo.

“Ada warga Tunggulsari, Pos Kulon, Pos Wetan, Sambungrejo, Baksari, ada Sukabumi. Kemudian di luar kelurahan, ada dari Wates, Jambeyan, dan Bendo,” kata Suko.

Jumlah tenongan yang dibawa ke Makam Puroloyo di saat kondisi normal ada sekitar 800 tenongan. Itu hanya jumlah tenongan. Sedangkan jumlah orang yang hadir, per satu tenongan biasanya dibawa empat hingga lima orang.

Baca Juga: Antisipasi Corona, Kegiatan Sadranan di Boyolali Dibatasi

Sadranan semasa sebelum pandemi dan saat pandemi dinilai sangat berbeda. Suko menilai perayaan Sadranan di kala pandemi membuatnya seperti ada yang kurang.

Selain perasaan yang berbeda, Suko menceritakan jumlah orang yang mendatangi makam pun juga berkurang dibanding sebelum pandemi Covid-19. Sadranan di tahun 2020 tak seramai saat ini karena hanya didatangi perwakilan dukuh.

“Sebelumnya kan biasa kumpul-kumpul uang untuk acara ini. Tapi pas pandemi 2020, rasanya mak pleng, kosong banget. Ini mungkin enggak hanya dirasakan yang ke Makam Puroloyo. Tapi, daerah Selo, Cepogo, dan lainnya juga sama,” ungkap dia.

Baca Juga: Puncak Tradisi Bersih Desa Sumur Boyolali Digelar Sederhana

Salah satu sesepuh Desa Sukabumi, K.H. Maskuri, juga mengungkapkan terdapat perbedaan dibanding sebelum pandemi.

“Kalau sekarang ini kan baru diatur tentang Sadranan. Tidak semeriah dulu. Dulu ada yang mudik sampai cuti. Itu sebagai tanda bukti bahwa dia masih memiliki saudara di sini dan leluhurnya di makamkan di sini,” ungkap dia.

Tradisi Sadranan juga dilaksanakan menjelang bulan suci Ramadan dimaksudkan untuk mensucikan diri.

“Memasuki bulan yang mulia, maka kita mendoakan leluhur dan orang tua. Kemudian beramal saleh sehingga memasuki bulan Ramadan kita menjadi bersih,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya