SOLOPOS.COM - Ketua KWT Pelangi Kelurahan Beji, Nguntoronadi, Siswarsini, menunjukkan pupuk cair produksi KWT Pelangi, Selasa (21/1/2020). (Solopos-Cahyadi Kurniawan)

Solopos.com, WONOGIRI -- Sampah sempat menjadi masalah di Lingkungan Pudak, Kelurahan Beji, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Perilaku warga yang sering membakar sampah di pekarangan mengakibatkan banyak warga di lingkungan itu menderita batuk.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kejadian itu sempat menjadi atensi Dinas Kesehatan (Dinkes) Wonogiri. Dinkes merekomendasikan agar kesehatan warga lebih terjamin, warga diminta tidak lagi membakar sampah.

Oleh warga, hal itu ditindaklanjuti dengan mulai memilah sampah baik organik maupun non organik khususnya plastik.

Aktivitas membakar sampah seusai menyapu berkurang drastis. Sampah organik terdiri atas sisa sayur, kulit buah, buah busuk, hingga daun bungkus makanan, sebagian dimasukkan ke dalam komposter dari ember yang dimiliki setiap ketua RT.

Warga juga bisa mengumpulkan sampah organik itu ke dalam komposter terdekatnya. Selain komposter, sampah organik itu sebagian ditimbun di tanah. Saat penuh, warga bikin lubang baru sedangkan, lubang lama bisa ditanami pohon pisang.

“Pohon pisangnya bisa tumbuh subur. Kompos dalam tanah juga membikin tanah gembur dan mengembalikan unsur hara,” kata Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Pelangi Kelurahan Beji, Kecamatan Nguntoronadi, Siswarsini, saat ditemui di rumahnya, Selasa (21/1/2020).

Dari pemanfaatan sampah organik itu, warga bisa menghasilkan pupuk organik cair secara mandiri. Pupuk itu bisa digunakan untuk menambah nutrisi tanaman organik yang dikembangkan di kampung itu sejak 2014 lalu.

Dari kampung itu aneka buah organik mulai dari buah naga, sawo, alpukat, pisang, markisa, hingga empon-empon memiliki kualitas standar ekspor ke Eropa yang tersertifikasi.

Sedangkan, sampah plastik yang kini ada disimpan dalam botol-botol bekas air mineral. Saat botol itu penuh dengan plastik, botol akan dimanfaatkan menjadi semacam ecobricks untuk ditata menjadi seperti pot besar atau pembatas lahan di pekarangan rumah-rumah warga.

Karena jumlahnya yang terbatas, ecobricks yang terkumpul akan ditata secara bergantian merata ke seluruh pekarangan.

“Yang pasti aktivitas membakar sampah di sini sudah berkurang drastis. Membakar itu diperbolehkan hanya untuk memusnahkan tanaman yang bervirus. Itupun lokasinya harus jauh dari permukiman,” tutur Siswarsini.

Dampak berhentinya membakar sampah di kampung itu pun mulai terasa. Warga pun menghemat pembelian pupuk organik lantaran bisa menghasilkan sendiri. Udara terasa lebih segar dan tanaman tumbuh lebih subur.

Menurut Siswarsini, membakar sampah menghasilkan racun 350 kali lebih banyak ketimbang asap rokok. “Asap rokok saja bikin penyakit apalagi sampah. Ini banyak yang tidak disadari orang,” tutur dia.

Rumah Warga Slogohimo Wonogiri Terbakar, 3 Sertifikat Tanah Hangus

Tenaga Harian Lepas (THL) Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (TBPP) Kecamatan Nguntoronadi, Wahyu Tulus Nugroho, mengatakan tidak membakar sampah menjadi kebiasaan baru warga Kelurahan Beji.

Kegiatan itu sangat positif karena menjadi bagian mengurangi jejak karbon dalam konteks krisis iklim akhir-akhir ini. Masyarakat juga turut menjaga keseimbangan ekosistem dengan mengembangkan metode pertanian organik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya