SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Wah, kita punya walikota baru, Pakdhe.. Minggu depan ini dilantik.. Kira-kira kota kita tercinta ini bakal makin maju atau tetep seperti ini ya.. Jadi penasaran..” ujar Suto sambil nyruput minuman favoritnya, teh jahe, di angkringan Pakdhe Harjo malam itu. Kebetulan sobat kentalnya, Noyo dan Dadap, belum muncul.

“Kalau bagi saya yang kaum cilik ini, entah itu walikota lama, baru, atau mungkin tidak ada walikotanya.. kok rasanya sama saja ya.. Dari duluuu.. ya begini begini saja.. Jalan di depan rumah ya tetep ciut, tidak bertambah lebar.. Makin macet malahan..” jawab Pakdhe Harjo sekenanya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Ya ndhak gitu ta, Pakdhe.. Lha sampeyan ndhak pernah tindak-tindak kok.. Coba, sekarang ini apa ta yang tidak ada di Jogja.. Kalau jalanan jadi macet itu malah menandakan kota kita ini semakin maju..” timpal Suto.

“Mungkin itu sebabnya, yake.. Sudah lama memang saya ini ndhak ke mana-mana.. Ngurus angkringan saja sudah saya serahkan kepada si No.. Tapi, kapan itu saya diajak si Thole pergi ke bon-bin ngGembira Loka kok rasanya ndhak beda dengan ketika saya masih seger kuwarasan dulu.. malah sekarang ini kelihatan rada pating blengkrah, kayak ndhak diurus,” jawab Pakdhe sambil glethakan di kursi malasnya, nglaras.

“Mungkin prioritas pak walikota selama ini adalah ngurus manusia, bukan ngurus binatang, Pakdhe.. Jadi, untuk sementara bon-bin-nya dilewati dulu.. Mungkin saja lho..” ujar Suto mencoba menghibur bos angkringan itu.

Belum sempat Pakdhe Harjo melanjutkan obrolan tersebut, muncul Noyo dan Dadap runtung-runtung mendatangi angkringan. Spontan, Suto menyambut rekannya tersebut, “Weh, dari mana Yo, kok kadingaren barengan sama Dadap…”
“Ini tadi dari keliling kutha, Kang.. whalaah… macete poll. Saya ndhak bisa mbayangkan orang-orang di Jakarta yang setiap hari terkena macet, kayak apa rasane.. Saya menghadapi macet musiman seperti ini saja sudah mumet..” sahut Dadap yang langsung memesan minuman. “Kopi jahe, Kang No.. sik kuenthel.. gulanya jangan banyak-banyak.”
“Menjelang liburan, Kang Suto, biasaa.. kita warga Jogja ngalah saja.. Manggakake para tamu agar betah dan merasa nyaman berkunjung di kota kita,” tutur Noyo. “Saya hanya rada prihatin, tetangga kanan-kiri sudah mulai lenyap satu per satu.”

“Lho, maksudmu gimana, Yo..” sergah Suto dengan nada kaget.

“Itu lho, mereka ini mulai menjual rumahnya di kutha dan pindah ke ndesa.. Lha kalo begini, lama-lama saya ndhak punya tetangga. Di kampung saya cukup banyak lho, rumah yang berubah wujud menjadi hotel atau penginapan..” ungkap Noyo sambil meniup-niup permukaan gelas berisisi susu jahe, minuma favoritnya.

“Kalo saya, Kang, ada yang mau beli rumah saya lalu dirobohkan dan dijadikan hotel, ndhak apa-apa.. sing penting, wani pira.. rak ngono,” ucap Dadap.

“Wah, lha kamu itu ndhak ngerti budaya kok, Dap.. Gini lho, daya tarik suatu komunitas itu kan dari kekayaan khazanah seni dan budayanya. Jogja ini kan sudah terkenal sebagai Kota Budaya. Banyak orang datang kemari karena ingin menikmati suasana budaya yang diciptakan oleh masyarakat Jogja..” ujar Noyo mencoba menjelaskan.
“Lalu, so what..” timpal Dadap menirukan omongan orang di televisi.

“Guayamu itu lho, Dap.. Dap.. Kayak ngerti apa artinya..” sahut Suto sambil mesem.

“Lha kalo anggota penggerak kegiatan budaya itu sudah tidak ada lagi di komunitas itu, termasuk artefak atau bukti peninggalan seperti rumah dan bangunan khasnya, apa aktivitas seni dan budaya itu ndhak mati nantinya. Begitu juga kalo banyak anggota masyarakat Jogja terpaksa menyingkir dari kota ini, nantinya Jogja hanyalah tinggal sekumpulan bangunan asing dan kegiatan bisnis tanpa memiliki ruh seni-budayanya lagi,” papar Noyo.

“Bener lho Kang Noyo.. daleme Pak Sosrowijoyo, tetangga saya, begitu dibeli sama pengusaha dari Jakarta langsung dirobohkan dan diganti bangunan hotel magrong-magrong lima tingkat.. Padahal itu rumah joglo kuna.. Sekarang jalanan depan rumah kami yang memang dari dulu sempit itu jadi sering macet, karena banyak mobil carteran yang nunggu tamu hotel.. Lha kami, para tetangganya, ya cuma jadi penonton,” kata Dadap ngudarasa.

“Wah, sudah banyak kasus seperti itu Dap.. Seharusnya, pemerintah turut menjaga dan mengawasi kondisi seperti itu. Harusnya, untuk bangunan lawas dan komunitas seni-budaya yang ada, dilakukan semacam cagar budaya.. jangan dibiarkan kekayaan seni dan budaya adiluhung kita ini hilang..” ucap Suto. “Mumpung kita punya walikota baru, kita tulis surat yuk untuk ngaturi pirsa kondisi ini.”

“Saya kira pak Haryadi, Walikota kita yang baru ini, tahu kok.. Kan tadinya dia Wakil Walikota ta.. Pemerintah kota bisa kok, misalnya, menjaga kawasan tertentu agar tidak berubah menjadi blok hotel atau penginapan semua.. Banyak lho turis yang ingin menyaksikan seperti apa sih perkampungan tradisional di sekitar Jalan Malioboro, misalnya. Kalau ini dipertahankan, benahi dan dirapikan, bukan tidak mungkin malah menjadi objek eko-sosio-turisme lho..” ujar Noyo.
“Betul kowe, Yo.. Ada baiknya pak Walikota dipesen agar sering turba alias turun ke bawah, nuwun sewu, kersa blusukan, njajah desa milang kori, menyaksikan sendiri kondisi kota yang dipimpinnya, lalu menjadikannya lebih rapi. Wah, kalau itu terlaksana, Jogja kita akan makin moncer ya Kang..” kata Dadap.

“Tentu lah Dap.. Yaa, kita ini kaum cilik, kata Pakdhe Harjo tadi, bisanya kan cuma berharap semoga kehidupan rakyat Jogja ini lebih baik dan lebih baik lagi..” tutur Suto yang ditanggapi dengan manggut-manggut oleh kedua rekannya tersebut.

Oleh Ahmad Djauhar
Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya