SOLOPOS.COM - Abdul Muid Badrun, Dosen STIE Surakarta General Manager Origine Training Center (OTC) Solo

Abdul Muid Badrun, Dosen STIE Surakarta General Manager Origine Training Center (OTC) Solo

Beberapa kali saya sengaja menghadiri upacara ”ritual wisuda” yang diselenggarakan beberapa perguruan tinggi negeri atau swasta di Solo dan  Jogja. ”Ritual” itu intinya penyerahan gelar sarjana kepada para wisudawan-wisudawati. Saya ingin melihat betapa kemeriahan upacara wisuda yang tiap tiga bulan atau empat bulan sekali diadakan itu sirna ketika mereka dihadapkan pada persoalan mencari pekerjaan.
Beberapa wisudawan-wisudawati yang saya wawancarai menyatakan dengan jelas bahwa mereka masih bingung mau ke mana setelah lulus kuliah.    Bahkan, ada yang menjawab,”Saya kuliah karena tidak ingin dianggap menganggur oleh tetangga.” Kenyataan ini memberikan pesan mendalam bagi pemangku kepentingan di perguruan tinggi, bahwa perguruan tinggi harus mampu ”membangunkan” dan ”membangkitkan” mereka yang ”belum siap” memasuki dunia kerja. Harapannya agar mereka tidak lagi berada dalam menara gading idealisme tanpa mengakar pada ranah realisme di lapangan.
Disadari atau tidak, persoalan pendidikan tinggi (perguruan tinggi) di Indonesia sebenarnya tak pernah berhenti dibahas dan dikupas. Pembahasan itu menyangkut kualitas maupun masa depan lulusannya (sarjana). Sudah banyak tulisan, diskusi, seminar, lokakarya, simposium yang digelar dengan tujuan mencari solusi konkret atas persoalan tersebut. Hal ini tentunya erat kaitannya dengan tuntutan persaingan global yang mensyaratkan mutu dan kompentensi.
Sejauh ini, kita bisa menyaksikan dengan jelas bagaimana para sarjana kita masih terus disibukkan dengan persoalan mencari pekerjaan. Kenyataan ini semakin mengerikan ketika lapangan kerja semakin sempit. Belum lagi impitan sektor riil yang sebelumnya diharapkan mampu menyerap tenaga kerja, tetapi kenyataannya juga tidak mampu bernapas lega. Sektor perbankan masih asyik dengan ”mainan” Sertifikat Bank Indonesia (SBI) daripada menyalurkan kredit ke sektor riil.
Lantas, bagaimana menyikapi persoalan ini? Apakah jadi ukuran kualitas ketika lulus sarjana langsung diterima di pekerjaan tertentu? Ataukah memang perguruan tinggi kita masih belum mampu menyediakan sarjana-sarjana berkualitas unggul sehingga sulit diterima di perusahaan? Tulisan ini berusaha membedahnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cemas dan Khawatir
Jika kita amati secara seksama, saat ini gambaran sarjana Indonesia masih sangat memprihatinkan. Dalam beberapa kali pertemuan mengisi kuliah umum (studium general) di beberapa perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, tampak dengan jelas guratan pesimisme di wajah para mahasiswa kita. Suasana cemas dan khawatir tergambar jelas dari beberapa pertanyaan yang diajukan.
Bagi saya, adalah wajar ketika kecemasan dan kekhawatiran muncul manakala realitas tidak berpihak kepada mereka. Realitas yang saya maksud adalah ternyata di Indonesia dengan modal pintar saja tidak cukup untuk bisa hidup. Banyak faktor lain yang mendukung seseorang bisa dianggap menjadi sarjana sukses. Dari pengamatan saya selama ini, ada dua hal yang harus dimiliki para mahasiswa selain pintar di dalam kampus. Dua hal ini saya sebut sebagai inside factors dan outside factors.
Pertama, inside factors meliputi lima unsur yaitu thingking skill, listening skill, speaking skill, writing skill, dan doing skill. Kelima unsur tersebut menjadi determinant factors (faktor-faktor penentu) dari dalam diri mahasiswa untuk bisa diterima dalam dunia kerja. Pertanyaannya, apakah kelima faktor tersebut sudah dibudayakan dalam ruang-ruang kuliah perguruan tinggi kita? Itu masalahnya.
Sebagai orang yang pernah menjadi mahasiswa, saya berkesimpulan tampaknya perguruan tinggi kita perlu banyak bebenah diri. Pola mengajar satu arah yang sering kita jumpai tidak saja membuat mahasiswa malas bertanya namun juga membuat kemampuan berbicara (speaking skill) mereka rendah. Itu artinya, kita telah dengan sengaja membuat bodoh mahasiswa kita.
Di banyak perguruan tinggi negara maju, sistem contextual teaching and learning (CTL) banyak digunakan. Menurut Elaine B Johnson dalam bukunya Contextual Teaching and Learning (2006), metode ini sangat efektif-produktif mengajak anak didik untuk terlibat aktif dan memahami makna yang diajarkan dengan kehidupan nyata yang dialami. Dengan kata lain, mahasiswa tidak saja diajarkan (how to share) namun juga diajak untuk memahami (how to understand) dan terlibat aktif (how to involve) dalam materi yang diajarkan. Ketiga cara inilah yang mestinya diterapkan dalam ruang-ruang kuliah perguruan tinggi di Indonesia.
Kedua, outside factors meliputi kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas. Dalam konteks ini saya teringat cerita penemu lampu pijar Thomas Alva Edison. Setelah usaha dan percobaannya membuahkan hasil, ia berkata,”Untuk bisa sukses seperti saya, dibutuhkan 99% kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas dan hanya 1% saja kepintaran.” Karena itulah seyogianya para mahasiswa kita menyiapkan diri untuk terus bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas, agar bisa mencapai semua keinginan.
Peradaban sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kemajuan pendidikan. Tidak ada negara maju yang pendidikannya mundur dan tidak ada pendidikan mundur yang mampu memajukan negara. Jika Indonesia ingin menjadi negara maju, benahilah sistem dan metode pendidikannya. Tentunya dimulai dari yang paling kecil (start small) dan dilakukan sekarang juga (act now).
Dalam konteks Indonesia saat ini, ketika musibah datang silih berganti, kita tidak boleh lupa akan nasib pendidikan nasional yang makin hari makin tidak jelas arahnya. Kegagalan perguruan tinggi menjawab persoalan pengangguran adalah bukti nyata. Lantas mau mulai dari mana membenahi pendidikan nasional kita?

Ekspedisi Mudik 2024

Batu dan Kerikil
Saya kira, cerita hikmah batu dan kerikil bisa menjawab persoalan ini. Suatu ketika seorang ayah memanggil anaknya untuk mengambil karung. Ayah itu meminta anaknya mengambil batu besar terlebih dahulu dan diisikan sampai penuh ke dalam karung. Setelah penuh, ayah itu meminta anaknya mengambil kerikil untuk mengisi sela-sela lobang dalam karung sampai penuh.
Setelah penuh, ayah itu meminta anaknya lagi agar mengambil pasir untuk mengisi karung sampai benar-benar penuh dan tidak ada lagi yang celah tersisa. Baru setelah penuh, ayah itu meminta anaknya mengambil air untuk diisikan ke dalam karung tersebut. Ternyata bisa penuh terisi dengan baik dan sukses. Kondisinya pasti berbeda ketika yang dimasukkan pertama adalah kerikil, setelah itu pasir, kemudian air. Sebelum batu besar itu masuk, karung itu sudah penuh lebih dulu oleh kerikil, pasir, dan air.
Pesan dari cerita di atas adalah dalam menyelesaikan setiap masalah kita perlu mendahulukan yang paling besar (prioritas) dahulu, baru setelah itu yang lainnya. Ini sama dengan yang dimaksud Covey (2005) dalam First Things First. Dalam dunia pendidikan, masalah terbesar yang mesti jadi prioritas penyelesaian adalah masalah kualitas dan mutu pendidikan. Artinya kualitas sistem dan metode pendidikannya, dosennya, sarjananya, kesejahteraan tenaga pendidiknya, metode mengajarnya, dan infrastrukturnya.
Jika mutu jadi prioritas utama, turunan lainnya seperti mampu bersaing dengan perguruan tinggi asing (PTA), diterima di lapangan kerja, dan menjadi manusia cerdas seutuhnya akan dengan mudah tercapai. Selamat mencoba! Bagaimana menurut Anda?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya