SOLOPOS.COM - Sholahuddin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Kota Solo masuk 10 besar sebagai kota toleran berdasarkan riset Setara Institute. Teman saya ragu. “Ini benar Kota Solo masuk peringkat ke-9 kota toleran?” tanya dia di sebuah grup percakapan setelah membagikan tautan berita di situs .  Saya pun kaget.

Di Jawa Tengah, Kota Salatiga yang selama ini konsisten masuk di tiga besar sebagai kota toleran di Indonesia. Kekagetan itu beralasan. Kota Solo selama ini dikenal sebagai kota yang menjadi titik api (hotspot) gerakan esktremisme dan radikalisme.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kota ini juga dikenal bersumbu pendek. Cepat meletus saat ada pemicu. Banyak kelompok vigilante atau kelompok yang suka main hakim sendiri. Aksi sweeping, misalnya. Seperti ada wajah ganda Kota Solo: wajah toleran di satu sisi, dan wajah intoleran di sisi lain.

Saya penasaran. Saya kemudian membaca dengan detail hasil riset indeks kota toleran (IKT) tahun 2015, 2017, 2018, 2020, dan 2021. IKT merupakan riset  mengukur praktik baik toleransi di Indonesia yang digelar rutin oleh Setara Institute.

Riset untuk mengukur kinerja pemerintah kota dalam mengelola kerukunan, toleransi, wawasan kebangsaan, dan inklusi sosial. Penghargaan kota toleran dipandang dari sudut pandang tata kelola pemerintahan yang inklusif yang diterapkan di kota-kota di Indonesia.

Pada 2021 Kota Solo mengalami lompatan signifikan. Hasil riset IKT 2018 mendudukkan Kota Solo di posisi ke-36 dari 94 kota di Indonesia. Tahun 2020 turun di posisi ke37. Hasil riset IKT 2021 mendudukkan Kota Solo melompat ke posisi ke-9.  Dalam suatu forum diskusi, saya bertanya langsung kepada Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan.

Apa variabel penting  sehingga Kota Solo bisa masuk peringkat ke-9 kota toleran? Dia menjelaskan pemerintah dan masyarakat sipil Kota Solo punya kemampuan meredam yang baik saat ada tindak intoleran.

Pemerintah kota memberikan pernyataan keras dan  melakukan tindakan konkret. Masyarakat sipil juga menolak intoleransi. Tindakan intoleran bisa diredam, tidak meluas. Secara umum nilai tata kelola pemerintahan yang inklusif membaik.  Meski belum ideal (karena masih di posisi ke-9), ini tentu kabar baik.

Kemampuan meredam intoleransi menjadi modal sosial kuat bagi Kota Solo. Pemerintah kota masih punya pekerjaan meningkatkan kinerja dengan memperbaiki kebijakan dan politik anggaran yang inkusif dan toleran. Peringkat kota toleran bisa terus meningkat.

Kabar teranyar, Pemerintah Kota Solo melalui Surat Keputusan Wali Kota Nomor 100.05/55.6 Tahun 2022  membentuk Tim dan Sekretariat Terpadu  Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (Timdu PE).

Tim ini sebagai implementasi Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) Tahun 2020-2024.

Timdu PE merupakan kolaborasi antara organisasi perangkat daerah (OPD) dengan beberapa organisasi masyarakat sipil (OMS) yang peduli pada nilai-nilai keberagaman, toleransi, dan perdamaian. Solopos Institute juga menjadi bagian di dalamnya.

Timdu PE menjadi langkah maju Pemerintah Kota Solo. Timdu PE juga akan membiasakan aparatur pemerintah masuk ke isu-isu keberagaman serta pencegahan radikalisme.  Ada harapan program tata kelola pemerintahan inklusif serta menciptakan masyarakat toleran bukan lagi menjadi aksi pinggiran, namun bisa menjadi kegiatan arus utama bersama program-program pemerintah lainnya.

Ini memang tugas berat. Timdu PE ini seperti bayi yang baru lahir. Perlu proses panjang agar kerja Timdu PE berjalan efektif mencapai tujuan. Tentu dengan catatan, tim ini bekerja secara serius dan konsisten. Kerja tim berkait erat dengan ideologi ekstrem yang tidak mudah untuk mengubahnya.

Tidak Cukup

Beruntung, banyak OMS yang peduli pada Kota Solo. Mereka telah atau sedang melaksanakan program pada isu toleransi. Solopos Institute mengintervensi dengan program literasi keberagaman melalui jurnalisme di sekolah. Yayasan Kakak dengan program pengasuhan anak inklusif.

Yayasan Prasasti Perdamain (YPP) fokus pada isu rehabilitasi dan reintegrasi sosial eks narapidana kasus terorisme. Setara Institute mengusung program tata kelola pemerintah yang inklusif. Mafindo fokus pada program literasi digital. Nasyiatul Aisyiah membawa program penyelamatan ekologi berbasis lintas iman (Eco Bhinneka).

Solo Bersimfoni dengan hasthalaku atau delapan laku toleransi berbasis kearifan lokal. Peace Generation (PeaceGen) dengan 12  nilai dasar perdamaian untuk kaum muda. Wahid Foundation dengan program Kampung Damai di Tipes.

Ada pula Imparsial, Yayasan Percik, Gusdurian, dan OMS lain yang tidak saya ingat satu per satu. Institusi tersebut punya andil besar dalam penguatan masyarakat sipil. Sebagian lain pada penguatan aparatur pemerintah dengan program advokasi.

Kelompok masyarakat sipil akan menjadi pemicu sekaligsu pendukung Pemerintah Kota Solo membuat kebijakan yang lebih inklusif. Ini saja belum cukup. Kota yang toleran punya dimensi luas. Perlu juga mengetahui ruang batin warga kota. Butuh riset mendalam.

Apakah kota ini benar-benar nyaman bagi semua? Apakah masih ada rasa superior untuk kelompok mayoritas? Apakah ada yang merasa inferior dan waswas untuk kelompok minoritas? Apakah masih ada sekelompok kecil vigilante yang  sering berisik bikin ulah?

Apakah masih ada pemaksaan untuk berpakaian dengan identitas tertentu? Apakah semua warga tenang hidup dalam perbedaan? Tidak ada rasa curiga dan benci di antara mereka? Perasaan curiga, tidak suka, akan menjadi benih intoleransi yang bersifat laten (tersembunyi).

Bisa saja memanifes (menjadi nyata) jika ada pemicunya. Ini menjadi pekerjaan semua warga kota. Pertanyaan tersebut penting karena toleransi terkait dengan kenyaman hidup mereka sebagai warga kota. Bisa jadi stigma Kota Solo bersumbu pendek, sebagai titik api gerakan ekstremisme, merupakan fakta yang tidak bisa hilang.

Biarkan itu berproses menjadi fakta sejarah masa lalu. Saya mengadopsi kata-kata futurolog Ziauddin Sardar, kini saatnya menulis sejarah baru bagi masa depan Kota Solo. Bukan hanya untuk Kota Solo yang berbudaya, tapi lebih jauh lagi untuk Kota Solo yang berperadaban, bersama warga kota yang beradab pula. Langkah-langkah kecil itu telah dimulai. Kita tunggu wujud Kota Solo yang berwajah tunggal: wajah toleran! Semoga…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 September 2022. Penulis adalah Manajer Solopos Institute)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya