SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Waisak, kesadaran nilai spiritual dan nasionalisme

Namo Sanghyang Adi Buddhaya
Namo Buddhaya!

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tiap tahun di bulan waisak umat Buddha di seluruh penjuru dunia merayakan tiga peristiwa istimewa yang terjadi pada manusia agung Buddha Gautama.

Realisasi spiritualitas keterbangunan nurani Sidharta bukan merupakan suatu capaian yang berangkat dari ketakutan atau penolakan sepihak terhadap penderitaan pribadi atau suatu yang bersifat kebetulan, sudah dipilih dan ditakdirkan, melainkan berangkat dari observasi langsung terhadap realitas kehidupan diiringi kepedulian terhadap derita semua agregat yang bernyawa, kemudian diperjuangkan dengan sepenuh hati tanpa kenal lelah (A.146).

Pola perjuangan Sidharta menggunakan seluruh potensi fisik dan mentalnya dalam proporsi yang seimbang, bukan membaca aksara-aksara suci yang terkodifikasi dalam kitab-kitab, sehingga menghasilkan realisasi hidup, riil, dan berlaku universal.

Dalam tataran yang sederhana, keistimewaan kebangkitan nurani spiritual Sidharta yang kemudian disebut sebagai Buddha pada dasarnya merupakan suatu realisasi dengan mengikuti hati yang sama manusiawinya dengan yang kita miliki, hati yang kadang juga sama rapuhnya. Yang kemudian berbeda adalah konsistensi Sidharta dalam memilih, bersikap, bertindak dalam bingkai spiritualitas hati yang jernih dalam menghadapi setiap kondisi, berbeda dengan kita yang cenderung mengabaikan suara nurani terutama ketika dihadapkan pada suasana untung-rugi, pujian-celaan, bahagia-menderita, dan berbagai jebakan kondisi dualisme hidup lainnya.

Merenungkan realisasi Sidharta tersebut, kebangkitan bukanlah monopoli milik-Nya dan juga bukan sesuatu yang di luar potensi manusia, dalam diri manusia terdapat potensi spiritual tersembunyi yang luar biasa (buddhata) sehingga yang harus kita lakukan adalah mengembangkan dan membuka kemungkinan-kemungkinannya.

Nurani dan spiritualitas Buddha memiliki keseimbangan dua sayap utama yang saling melangkapi yakni karakter bijaksana (prajna) dan karakter kepedulian atau kasih (karuna), kasih tanpa diiringi kebijaksanaan bukanlah kasih yang sesungguhnya, demikian juga kebijaksanaan tanpa kasih atau kepedulian hanyalah kebijaksanaan semu. (D.I.16).

Di tengah berbagai masalah yang dihadapi, bangsa ini sebenarnya masih sangat banyak menyisakan harapan dan potensi besar untuk cerah, bangkit dan tampil sebagai garda terdepan dalam kancah taman sari pergaulan internasional. Memang tidak ada satu atau dua formula utama yang dapat dijadikan  solusi tunggal. Yang diperlukan adalah jalinan ikatan tulus bagi setiap anak bangsa untuk membantu membangkitkannya.

Seiring dengan momentum wiasak ini, saya mengajak segenap umat Buddha  membantu memberikan kontribusi positif bagi upaya bersama membangkitkan kemajuan bangsa dan negara melalui internalisasi nilai-nilai spiritualitas dasar ke-Buddha-an yakni kepedulian (karuna) dan kejernihan atau kebijaksanaan (prajna) dalam bingkai ke-Indonesiaan.

Umat Buddha yang ada seyogyanya dapat menjadi bagian dari solusi bukan malah menambah persoalan bangsa. Pekerjaan besar tersebut tidak lain merupakan wujud dari rasa kebangsaan atau nasionalisme, karena nasionalisme yang sesungguhnya juga mengandung sikap sadar berpijak pada realitas kekinian dalam konteks ruang dan waktu (sati sampajana) dan ditindaklanjuti dengan sikap  kepedulian (karuna), sebuah sikap kontribusi.

Kesadaran berkontribusi adalah kunci bagi tumbuhnya kreativitas terus berkarya bagi bangsa. Sebagaimana dipesankan Buddha dalam Dhammapada, manusia yang tidak mau berkarya dan berkontribusi dalam menjalani kehidupannya adalah ciri nyata kemunduran derajat manusia yang dapat mendekati karakter binatang.

Konteks historis nusantara menunjukkan nilai spiritualitas buddhis yang betul-betul ditekuni, digumuli, diaktualisasikan mampu menyumbangkan karya agung monumental baik dalam bentuk karya fisik maupun pemikiran. Karya agung yang dimunculkan selalu berpijak pada nilai spiritual dalam konteks lokalitas sekaligus memiliki nilai universalitas.

Umat Buddha nusantara bernama  Gunadharma mampu melahirkan karya besar, menuangkan nilai-nilai sipiritual, seni, dan ke-nusantara-an tertuang dalam candi Jinalaya Bhumisambhara Buddha atau Borobudur. Kitab suci Buddha seperti Jatakamalla, Lalitavishtara-sutra, Avadhanakalpalata dan Mahavaipulya-avatamsaka-nama-mahayana sutra ditorehkan secara indah dalam relung-relung candi yang kemudian menjadi kiblat peradaban bukan hanya milik umat Buddha melainkan menjadi simbol martabat bangsa secara keseluruhan.

Kitab Negarakrtagama juga menyebutkan karya besar pemikiran umat Buddha bernama Mpu Tantular dalam bidang kebangsaan, pluralitas dan multikultural yang mampu merekatkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Karya monumental beliau, Kakawin Sutasoma memiliki seloka Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa. Kata Bhinneka Tunggal Ika diadobsi, dijadikan sebagai jangkar pemersatu bangsa sampai sekarang.

Kearah sanalah umat Buddha harus bercermin, berkiblat bahwa pendahulu kita adalah manusia-manusia yang agung, luhur, merias hidup dengan karya dan sumbangan besar bagi bangsa dan negaranya.

Akhirnya, marilah kita internalisasikan pesan-pesan waisak dalam kehidupan sehari-hari secara nyata agar terbentuk proses pembangunan berbasis manusia, menjadi manusia utuh dan paripurna agar mampu memberi kontribusi nyata bagi  bangsa dan negara dalam bidang kita masing-masing. Selamat waisak, selamat bangkit dan berkarya…sadhu…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya