SOLOPOS.COM - Keramaian saat tradisi Sadranan di Makam Puroloyo, Dukuh Tunggulsari, Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Kamis (9/3/2023) pagi. (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Warga di lereng Merapi wilayah Cepogo, Boyolali, menganggap tradisi Sadranan menjelang Ramadan memiliki nilai yang sangat penting. Tak mengherankan jika tradisi itu bahkan lebih ramai dibandingkan saat Lebaran.

Warga yang merantau di luar daerah pun berdatangan pulang kampung demi tradisi ini. Tak mengherankan pula jika warga setempat rela mengeluarkan biaya lebih besar untuk tradisi ini dibandingkan saat Lebaran.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Dana yang disiapkan warga untuk tradisi ini mencapai tiga kali lipat dibandingkan dana untuk Lebaran. Salah seorang warga Sambungrejo, Mliwis, Cepogo, Boyolali, Harjoko, 40, mengungkapkan saat Lebaran biasa ia hanya menghabiskan uang Rp3 juta. Namun saat Sadranan, warga lereng Merapi di Cepogo, Boyolali, itu bisa habis sampai Rp10 juta.

“Pas sadranan ini saya habis sekitar Rp10 juta. Ini saya beli ayam untuk dimakan 15 ekor, daging sapi, dan kambing, mungkin kalau ditotal 30 kilogram. Untuk macam-macam snack ada 32 jenis,” ujarnya saat berbincang dengan Solopos.com di Makam Puroloyo, Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Kamis (9/3/2023).

Ia mengatakan menyiapkan semua itu untuk suguhan menyambut tamu saat Sadranan karena banyaknya sanak saudara, teman, dan orang-orang yang datang ke rumahnya. Bahkan, kerabat yang jauh memilih datang saat Sadranan ketimbang saat Lebaran.

Terkadang, saat Lebaran mereka memilih untuk berlebaran di tempat asal masing-masing. Namun, momen Sadranan di Cepogo, Boyolali, menjadi pembeda karena bisa mengunjungi makam dan melihat tradisi tenongan.

Harjoko mengatakan ia menabung selama hampir satu tahun untuk biaya Sadranan. Hal tersebut memang telah ia lakukan secara rutin sehingga ia tak merasa keberatan.

“Kalau banyak yang datang begitu senang rasanya, soalnya kami sudah menyiapkan banyak. Jadi biar makanan yang kami sediakan habis,” ujarnya.

Joko mengungkapkan tamu yang datang tak hanya dari orang-orang yang ia kenal. Saudara dan temannya juga membawa tamu lain untuk memeriahkan acara sadranan di Cepogo, Boyolali.

Dari pagi sampai malam, tamu-tamu berdatangan ke rumahnya. “Kenal enggak kenal kami terima. Kami enggak takut rugi, kan menyambung silaturahmi,” jelasnya.

“Terus Lebaran kan silaturahmi dari wong enom ke orang tua. Kalau Sadranan kan enggak, tua muda datang ke sini. Itu pasti.”

Senada, warga Tunggulsari, Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Nasfuri, 38, mengungkapkan suasana Sadranan di tempat tinggalnya juga lebih ramai dibandingkan Lebaran. Penyebabnya karena Sadranan hanya dilaksanakan satu hari, berbeda dengan Lebaran di mana saudara bisa datang selama kurun waktu tujuh hari.

Andalkan Hasil Panen

“Terus Lebaran kan silaturahmi dari wong enom ke orang tua. Kalau Sadranan kan enggak, tua muda datang ke sini. Itu pasti,” kata dia.

Ia juga mengungkapkan kerabat yang biasanya tak pulang ke Cepogo, Boyolali, saat Lebaran justru pulang saat Sadranan. Hal tersebut yang membuat Sadranan menjadi momen yang lebih ramai dibandingkan Lebaran.

Nasfuri juga harus menyiapkan uang lebih pada momen Sadranan ini. Jika saat Lebaran biasanya ia menyiapkan Rp1,5 juta-Rp2 juta, saat Sadranan ia menyiapkan dua sampai tiga kali lipat, bisa Rp4 juta-Rp5 juta.

“Itu saya sistemnya bukan menabung, tapi saya kira-kira saja, sayur saya panen pas Sadranan ini. Jadi sistem nanggoh panen,” tuturnya. Ia mengatakan persiapan Sadranan tidak ribet karena sudah sejak jauh-jauh hari.

Warga Cepogo, Boyolali, itu juga telah mengikuti arisan untuk daging sapi dan daging ayam khusus untuk Sadranan. Biasanya, lanjut Nasfuri, tamu-tamu yang datang ke rumahnya bukan hanya saudara atau teman, tapi ada juga orang yang tak dikenal.

“Ada yang memang temannya teman, ada yang benar-benar enggak kenal. Contohnya mereka salah masuk rumah, dikasih ancer-ancer rumah barat musala, kan di sini banyak, malah salah masuk rumah,” kata dia.

Ia mengatakan saking ramainya orang yang datang ke rumahnya, jalanan kampung yang bahkan saat Lebaran tidak macet, justru macet saat Sadranan, khususnya di kampung-kampung yang melaksanakan Sadranan.

“Enggak apa-apa ramai, niatnya saling berbagi. Harapannya tetap saling menjalin silaturahmi, dan terjadi keseimbangan tradisi dan religi. Seperti di makam tadi kan tradisi, tapi kan berdoa dan bersilaturahmi itu religi,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya