SOLOPOS.COM - Ilustrasi mahasiswa (Pictagram)

Kampus swasta kecil di Jogja keberatan dengan dorongan untuk merger.

Harianjogja.com, JOGJA—Wacana Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir untuk memerger perguruan tinggi dengan mahasiswa kurang dari 1.000 orang sulit diwujudkan di DIY. Beberapa kampus dengan sedikit mahasiswa terus berkembang, tak sedikit pula yang masih dibutuhkan masyarakat.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Kopertis) Wilayah V DIY Bambang Supriyadi mengatakan dari 106 perguruan tinggi swasta (PTS) di DIY, 30% atau 31 sampai 32 kampus memiliki tak lebih dari 1.000 mahasiswa. Kampus-kampus itu rata-rata memiliki 600 mahasiswa tetapi berkembang bagus. Ide menggabungkan kampus yang tak punya 1.000 mahasiswa akan sukar diterapkan, apalagi oleh akademi yang hanya memiliki satu jurusan dan paling banter 600 mahasiswa.

“Dengan 600 atau 700 mahasiswa, sudah termasuk sehat banget untuk ukuran akademi karena cuma ada satu prodi. Kalau di bawah 1.000 mahasiswa kampus harus dimerger, tampaknya enggak begitu mudah. Kalau mahasiswa cuma 600 atau 700 tetapi misal SPP-nya Rp10 juta itu masih bisa untuk operasional, tetapi kalau mahasiswa cuma 200 dan SPP kurang dari Rp2 juta, itu berat,” ujar Bambang, Jumat (8/9/2017).

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohammad Nasir (berbaju putih) bersama Koordinator Kopertis Wilayah V DIY, Bambang Supriyadi (kanan). (Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja)

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohammad Nasir (berbaju putih) bersama Koordinator Kopertis Wilayah V DIY, Bambang Supriyadi (kanan). (Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja)

Kopertis, kata dia, telah memulai upaya merger sejumlah PTS yang sulit berkembang karena kekurangan mahasiswa.

Hingga awal September 2017, sudah ada tiga hingga empat kampus yang sudah disarankan untuk menggabungkan diri menjadi satu.

“Sebagian sudah saya petani [pemetaan], sudah kami informsikan untuk siap dimerger. Mereka [pihak kampus] ingin ada kemudahan dalam prosesnya. Kalau akademi [dimerger] jadi satu, mestinya bisa menjadi sekolah tinggi. Mumpung yang meminta pemerintah, tinggal yayasannya mau atau tidak,” kata dia.

Sejumlah PTS berbeda dengan yayasan yang sama juga disarankan untuk merger. Senin (4/9/2017), Menristekdikti Mohamad Nasir meminta agar perguruan tinggi atau kampus dengan jumlah mahasiswa kurang dari 1.000 bergabung dengan kampus lain. Nasir mendorong merger agar kondisi keuangan perguruan tinggi lebih sehat sehingga kualitas pendidikan yang dihasilkan lebih bagus. Menurut Nasir, ada lebih dari 2.000 kampus yang semestinya dimerger.

Direktur Jenderal Kelembagaan Kemristekdikti Patdono Suwignjo mengatakan banyaknya perguruan tinggi yang kecil berdampak pada angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi atau tingkat partisipasi masyarakat untuk kuliah yang hanya 45% dari 4.529 tinggi di Tanah Air.

Halaman Kedua : Wacana Menristekdikti Ditolak


Wacana Menristek Dikti Ditolak

Kampus-kampus swasta kecil di Jogja keberatan dengan dorongan merger. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta (Staiyo) Wonosari Mardiyo keberatan dengan wacana penggabungan universitas atau pun sekolah tinggi oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti). Menurut dia, wacana tersebut akan menjauhkan masyarakat dari akses pendidikan tinggi.

“Saya kurang sependapat. Apalagi Kopertis juga belum pernah membicarakan masalah itu,” kata Mardiyo, Sabtu (9/9/2017).

Dia mengatakan perguruan tinggi bisa solid tanpa harus melalui penggabungan. Seharusnya, lanjut dia, kebijakan yang diambil lebih mengarah kepada pembinaan, yakni sistem akreditasi yang divalidasi ulang secara berkala.

“Akreditasi jadi salah satu syarat menyelenggarakan pendidikan tinggi. Jadi saya harap wacana penggabungan dapat dikaji secara mendalam,” katanya.

Ilustrasi mahasiswa (Nationofchange.org)

Ilustrasi mahasiswa (Nationofchange.org)

Staiyo Wonosari memiliki kurang dari 1.000 mahasiswa. Mahasiswa di sekolah tinggi ini kebanyakan berasal dari Gunungkidul.

“Kalau sampai digabung, akses pendidikan tinggi akan semakin jauh. Ini yang harus dipertimbangkan,” kata dia.

Akademi Maritim Yogyakarta (AMY) yang hanya punya 200 mahasiswa juga menolak wacana merger. Wegig Pratama, Direktur AMY mengatakan jumlah siswa yang bisa diterima di kampusnya memang tidak banyak. Sebab, sekolah ini terikat dengan kewajiban untuk mengacu pada standar yang ditetapkan oleh International Maritime Organization (IMO) dan telah diterimanya pengesahan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan pada 4 Juni 2003 Nomor: PY.68/2/5.03.

Mengacu pada regulasi ini, kata dia, setiap kelas hanya bisa menampung 24 orang. Saat praktik di laboratorium, 10 mahasiswa harus didampingi satu dosen.

“Jadi memang tidak akan menerima banyak taruna. Jumlah itu sudah ideal untuk kami,” kata dia, Jumat (8/9/2017).

Jumlah itu juga berdasarkan pada ketersediaan sarana prasarana serta dosen pengajar. Menurut Wegig, wacana yang dilontarkan Mohamad Nasir punya tujuan bagus, tapi tidak cocok untuk semua intitusi pendidikan dengan mahasiswa sedikit. Dia mengatakan mengaku kondisi keuangan AMY cukup baik.

Ilustrasi mahasiswa (Thesparkng.com)

Ilustrasi mahasiswa (Thesparkng.com)



“Kami mampu membeli simulator senilai Rp10 miliar untuk praktik pembelajaran pada 2016 lalu,” kata dia.

Sumber pendanaan kampus salah satunya adalah pelatihan sertifikasi kelautan. Jumlah yang didapat cukup besar untuk menutup biaya penyelenggaran akademi selain dari biaya kuliah siswa. AMY memiliki 66 dosen dengan latar belakang pendidikan S2 dan S3.

Akademi Keperawatan Karya Bakti Husada yang terletak di Manding, Sabdodadi, Bantul, juga keberatan dengan rencana itu.

“Kami sulit mencari 1.000 mahasiswa karena cuma satu jurusan, yaitu D3 Keperawatan. Kelasnya cuma dua,” kata Kepala Akademi Keperawatan Karya Bakti Husada Eni Purwaningsih.

Menurut Eni, tak masalah kampusnya berdiri sendiri dengan jumlah mahasiswa sedikit selama bisa bertahan mandiri tanpa harus merger. Akademi itu bisa bertahan karena minimnya biaya operasional, lantaran hanya dua kelas yang beroperasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya