SOLOPOS.COM - Aris Setiawan, Pengajar Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Solo (ist)

Aris Setiawan, Pengajar Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Solo (ist)

Beberapa waktu lalu ramai diberitakan di media cetak maupun elektronik tentang tindakan polisi syariah di Kota Banda Aceh yang menangkap 65 pemuda yang hadir di sebuah konser amal punk-rock di Taman Budaya Banda Aceh (10/12/2011).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Polisi syariah menahan mereka dengan alasan sikap dan penampilan mereka–seperti gaya rambut mohawk dan bertindik di beberapa bagian wajah–dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap nilai-nilai ideologi bangsa dan tak selaras dengan nilai-nilai agama.

Dengan dalih pembinaan, para punkers berambut mohawk tersebut dicukur paksa, aksesori pada tindik mereka dicopot. Mereka juga harus menjalani pelatihan ala militer, direndam di kubangan air, dijemur di bawah terik matahari.

Persoalannya kemudian adakah yang salah dengan punk lewat musik, penampilan dan gaya hidup mereka?

Ahmad Fikri Hadi (2008) dan Ronald Byrnside (1975) menjelaskan punk sebagai sebuah aliran musik lahir di Inggris pada 1970-an.

Ini dimotori oleh grup band Sex Pistol asal Inggris yang dalam setiap kali konser selalu didatangi anak-anak muda berpenampilan eksentrik.

Lewat lagunya yang berjudul Anarchy in UK, Sex Pistol bersuara lantang mengkritik peningkatan jumlah pengangguran di pinggiran kota-kota Inggris (terutama generasi muda), serta keterpurukan ekonomi Inggris sekitar 1976-1977.

Tidak jelas memang dari mana asal kata ”punk” itu muncul. Tapi secara garis besar kelompok punk senantiasa meluapkan kemarahan-kemarahan yang diwujudkan lewat musik dengan tema berisi lirik-lirik resistensial terhadap kemapanan dan penguasa, serta protes atas situasi sosial politik yang dianggapnya melenceng seperti korupsi, kolusi, nepotisme, perusakan lingkungan, diskriminasi dan kekerasan.

Tak hanya dalam konteks bermusik, kelompok punk biasanya menandai diri mereka lewat penampilan yang unik seperti rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan dicat dengan warna-warna yang terang, sepatu bot, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh. Semua menunjukkan jati diri antikemapanan.

Mereka berpegang pada pedoman hidup do it your self. Segala sesuatu dapat dilakukan dengan mandiri tanpa campur tangan pihak lain. Hal itu terlihat dalam usaha menyebar dan merekam musiknya secara indie, konser musiknya pun terbatas dengan didanai dan diselenggarakan secara mandiri.

Dylan Clark lewat tulisannya The Death and Life of Punk, The Last Subculture (2003) memandang bahwa sebenarnya musik punk adalah aliran bunyi yang paling jujur dalam menyuarakan ketertindasan diri.

Oleh karena itu tak jarang kelompok musik punk dianggap sebagai virus yang mengganggu stabilitas suatu negara lewat kerasnya lirik lagu yang mereka bawakan, sebut saja misalnya grup Ramones, The Clash, Buzzcocks, Sex Pistol, Joy Division, The Fall dan Dead Kennedys.

Punk menjadi katalisator ideal dalam meluapkan akumulasi kepahitan hidup di saat media dan musik lainnya ”mati rasa” serta bersolek begitu glamor dengan hanya memburu pamrih semata.

Punk memberi teladan berharga, yang terkadang suara liriknya lebih pedas dan mampu didengar oleh sang otoritas (negara) dari pada suara sumbang demonstrasi ribuan rakyat.

Ibarat ibadah
Berjuang lewat punk, ibarat ibadah dalam agama. Punk menjadi aliran musik yang paling lantang dan ”keras”. Kaum praktisi dan penggemar musik underground lainnya menganggap punk sebagai ideologi berhaluan kiri.

Punk menjadi medium kritik yang mahal dalam melawan kuatnya spirit musik pop saat itu (bahkan hingga kini) yang hanya mengandalkan kekuatan lirik romantis, asmara dan cinta-cintaan semata.

Punk tak ubahnya lagu Iwan Fals, John Lennon dan Bob Marley yang penuh kritikan. Sepaham walau tak sebadan. Punk merupakan contoh ideal dalam perjuangan lewat musik yang kini sangat jarang kita jumpai di Indonesia.

Oleh karena itu dengan melihat ”kerasnya” punk di antara ingar-bingar musik-musik yang ”glamor” saat ini, tak heran jika punk ala Indonesia justru tereduksi sebagai kaum militan, preman, ditakuti dan dianggap meresahkan stabilitas masyarakat sehingga oleh sang penguasa (atas nama agama) keberadaannya harus dimusnahkan.

Mencekal pelaku musik punk berarti juga tidak menghendaki lahirnya punk sebagai musik. Padahal sebagai sebuah hasil olah kreatif, musik punk telah melalui sinergi yang pekat dengan zamannya hingga membentuk karakter dan kharisma yang khas.

Musik punk seharusnya mampu menjadi simbol dan contoh panutan pergerakan musik (kritik) mutakhir. Namun, tak jarang kita jumpai segerombolan pemuda yang berpenampilan atas nama ”punk” bertindak anarkistis ala preman, brutal, meresahkan.

Hal inilah yang sering menjadi tanda tanya kita akan anak punk. Dandanan (penampilan) mereka yang nyeleneh kadang mengaburkan idealisme seni dan kenyataan hidup.

Terlebih kemudian diperparah dengan keberadaan punk di Indonesia yang masih belum mampu menunjukkan taji sebagai musik kritik yang tajam, sehingga otomatis masyarakat memusatkan perhatian hanya pada aspek penampilan dengan penuh kecurigaan dan keresahan. Mereka tak pernah berjumpa dengan indahnya tema bunyi yang mereka ciptakan.

Itulah yang mendasari perlakuan polisi syariah di Aceh menangkap kelompok pemuda atas nama ”punk”. Hanya karena rambut mereka yang mohawk, anting dan baju yang kusut, seperti preman, kemudian tanpa tindakan dan prosedur hukum yang jelas harus dieksekusi secara sepihak.



Hal ini mengingatkan kita pada masa rezim Orde baru ketika para penembak misterius membunuh orang hanya karena orang tersebut bertato dan gondrong, tanpa ada proses hukum.

Atau militer di tahun 1960-an yang menciduk dan membantai sebagian orang karena disangka anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa pernah ada pembuktian dan pengadilan. Pertanyaannya kemudian, apakah kelompok punk sudah diadili dan disidangkan terlebih dahulu? Apakah kadar kesalahan mereka telah ditentukan? Pasal apa yang mereka langgar?

Wakil Walikota Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal sebagaimana dilansir kompas.com (14/12/2011) menolak keberadaan komunitas punk karena meresahkan masyarakat dan dikhawatirkan memengaruhi generasi muda di daerah itu.

Apabila logika tersebut yang dipakai, terkesan berlebihan jika hanya karena ”prasangka” masyarakat yang merasa resah dengan penampilan mereka kemudian menjadi dasar untuk menangkap, menahan, menggunduli, merendam di air kotor, menjemur dan mendidik ala tentara.

Apabila logika itu dibenarkan, kita dapat mengajukan asumsi akan keresahan kita ketika melihat kelompok mengatasnamakan Islam di sekeliling kita yang berjubah, berjenggot panjang dan bercelana cingkrang.

Lalu kita melapor kepada polisi dan menuntut agar jenggot mereka dipangkas habis, karena penampilan mereka yang demikian telah begitu meresahkan. Hal itu tentu saja tidak dapat dilakukan. Menghukum berdasarkan prasangka jelas tidak dibenarkan. Harus dibuktikan dulu kebenaran prasangka itu.

Kita tak boleh menghukumi Islam sebagai keras, meresahkan, hanya berdasar prasangka teroris-teroris itu orang Islam. Orang Asia tak dapat dilecehkan hanya karena prasangka beda ras dan kualitas orang Eropa. Orang hitam tak boleh direndahkan hanya karena prasangka warna kulitnya.

Dengan demikian, anak-anak punk tak boleh diperlakukan dengan semena-mena atas prasangka kepremanan mereka, kendati prasangka itu atas latar belakang agama.

Sejarah, perkembangan dan dedikasi positif punk seharusnya dapat digunakan sebagai acuan, pijakan dan referensi dalam melakukan pembinaan yang ideal tanpa harus dengan kekerasan, apalagi bila kekerasan itu atas nama agama.

(Aris Setiawan,  Pengajar Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya