SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<blockquote><p>Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (26/6/2018). Esai ini karya Lukmono Suryo Nagoro, editor buku yang tinggal di Kota Solo. Alamat e-mail penulis adalah lukmono.sn@gmail.com.<strong><br /></strong></p></blockquote><p><strong>Solopos.com, SOLO</strong>–Pada 27 Juni 2018 rakyat Jawa Tengah akan melaksanakan hak konstitusional memilih gubernur dan wakil gubernur. Dalam mekanisme demokrasi, cara melaksanakan hal tersebut menggunakan <em>voting</em> atau pemungutan suara.</p><p>Perlu diketahui, dalam tradisi liberal individu adalah subjek yang utama dan mandiri. Individu juga merupakan subjek yang mampu membuat pilihan bagi dirinya sendiri, namun di Indonesia individu sering dikaitkan dengan egoisme, keserakahan, bahkan pemilihan umum bisa dianggap sebagai kompetisi yang amburadul.</p><p>Konsep individu bertentangan dengan kultur gotong royong dan kekeluargaan bangsa Indonesia. Konsep kedaulatan individu tidaklah dikenal. Yang dikenal adalah kedaulatan rakyat, kedaulatan pangan, kedaulatan ekonomi.</p><p>Di Indonesia, individu merupakan bagian dari masyarakat dan negara. Individu harus tunduk pada norma yang berlaku dalam masyarakat dan yang disahkan oleh negara untuk mencapai harmoni sosial.</p><p>Jangan mengharapkan dan membayangkan individu bisa tumbuh sempurna di Indonesia karena pemerintah belum menghargai individualisme dan belum tegaknya hukum yang melindungi individu.</p><p>Pemikiran anti-individu atau kolektivisme sudah tertancap dalam benak masyarakat kita, termasuk calon pemimpin. Hampir seluruh (calon) pemimpin berbicara demi rakyat, demi keutuhan bangsa, bahwa kebijakan <em>bla bla bla</em> bertujuan meningkatkan solidaritas sosial masyarakat.</p><p>Situasi seperti ini sangat berlawanan dengan tradisi liberal. Haruskah individu menggunakan hak suara memilih pemimpin yang dagangannya bisa jadi tidak sesuai tradisi liberal?</p><p>Pada praktiknya tidak sedikit individu yang tetap menggunakan hak suara untuk memilih pemimpin yang jika terpilih kebijakannya penuh pelanggaran terhadap hak dan kebebasan individu, yang ditutupi argumen solidaritas sosial akan menciptakan harmoni sosial.</p><p>Berdasarkan tradisi liberal, pasti <em>voting</em> yang dilakukan oleh individu secara moral akan salah. Mengapa salah? Pemilihan umum merupakan proses perampasan hak karena individu akan menyerahkan sebagian hak untuk memilih pejabat sekaligus menyetujui tindakan pelanggaran hak dan kebebasan individu pada kemudian hari, tentu melalui proses <em>voting</em> tersebut.</p><p><strong>Terkekang</strong></p><p>Dalam tradisi liberal kompas moral <em>voting</em> bernilai salah, pertanyaannya mengapa individu tetap melakukan <em>voting</em>? Salah satu jawaban paling tepat berasal dari Jean Jacques Rousseau dalam pernyataan pembuka buku <em>The Social Contract</em>, yaitu manusia terlahir bebas dan di mana pun terkekang.</p><p>Alat pengekang manusia pada era modern ini adalah negara. Sebagai individu, manusia hidup dalam entitas negara yang memaksa manusia mematuhi hukum yang berlaku dan bahkan negara memajaki individu yang berpenghasilan tertentu.</p><p>Individu yang hidup dalam entitas negara hanya diberi sedikit sekali pilihan. Hampir semua pilihan yang diambil individu diatur bahkan diawasi oleh negara. Kedudukan individu juga tidak bebas 100%. Sedikitnya pilihan membuat individu harus berpartisipasi dalam memilih pejabat publik.</p><p>Partisipasi ini bertujuan memperluas dan melindungi kepentingan individu agar tidak terlanggar oleh kepentingan yang mengatasnamakan masyarakat atau negara. Dengan demikian, jika kita berniat memilih pejabat publik, sebaiknya memilih kandidat yang visi dan misinya cenderung mendekati perlindungan kebebasan individu sekecil apa pun perbedaannya dengan kandidat yang lain.</p><p>Meskipun kita sudah menyerahkan sebagian hak kita kepada negara melalui mekanisme <em>voting</em>, kita tidak boleh mengharapkan budi baik negara. Perlu diingat, dalam tradisi liberal, tugas utama negara bukan mengamankan kebahagiaan individu lewat berbagai subsidi dan program kesejahteraan, melainkan mengamankan hak individu untuk mengejar kebahagiaan.</p><p>Jika ada pemimpin yang berkampanye akan membahagiakan individu, kita tidak boleh memercayai. Proses <em>voting</em> adalah proses mengamankan hak individu untuk mengejar kebahagiaan, bukan proses individu meraih kesempurnaan hidup demi kebahagiaan &ldquo;yang sejati&rdquo;.</p><p>Dalam kehidupan bernegara, kita tidak tahu persis siapakah yang disebut &rdquo;yang sejati&rdquo;. Permainan tafsir akan mengarahkan &rdquo;yang sejati&rdquo; kepada negara atau partai politik. Mekanisme <em>voting</em> dalam demokrasi liberal berniat mengembalikan kedudukan individu di tempat terhormat.</p><p>Tempat terhormat itu sebuah kedudukan yang tidak bisa dimanipulasi oleh keadaan bahwa &rdquo;yang sejati&rdquo; (baca: negara atau partai politik) tidak bisa meremehkan kedudukan individu, meskipun &rdquo;yang sejati&rdquo; berniat baik membantu individu meraih kesempurnaan hidup.</p><p><strong>Penuh Ketakutan</strong></p><p>Niat baik inilah yang perlu dicurigai bahwa negara akan memberangus hak dan kebebasan individu karena negara sedang meraih kesempurnaan sejati. Selain itu, mekanisme <em>voting</em> juga berfungsi menegakkan kembali kedaulatan individu agar tidak dapat diingkari oleh kepentingan kolektif yang lebih besar, seperti negara atau partai politik.</p><p>Hal ini bertujuan agar para individu tidak lagi dengan mudah tertipu daya omong kosong kepentingan bersama di atas segala-galanya, meskipun kepentingan tersebut dibangun &rdquo;di surge&rdquo;. Pemilih dalam pemilihan umum adalah pribadi yang dewasa, baik jiwa, raga, maupun akalnya.</p><p>Pemilih yang dewasa pasti akan menjadi tuan bagi dirinya sendiri dan mampu mempertanggungjawabkan &nbsp;pilihannya di bilik suara. Sarana pertanggungjawabannya adalah akal sehat.</p><p>Untuk merawat demokrasi tidak hanya dibutuhkan <em>voting</em> secara reguler, tetapi yang lebih penting adalah akal sehat sebagai pangkal demokrasi. Akal sehat akan membuat individu berpikir sehat dan lurus untuk menangkal arogansi dan keyakinan.</p><p>Akal sehat (kini) hampir tidak ada. Percakapan di ruang publik yang penuh dengan pertimbangan rasional terus-menerus dihantam oleh argumen tanpa nalar dan kebenaran sepihak.</p><p>Tanpa akal sehat, kehidupan demokrasi yang terjadi di Indonesia sama sekali tidak memberi peluang bagi terciptanya harapan, tetapi hanya penuh ketakutan.</p>

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya