SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Istimewa)

Hati kami bergetar. Rasa perih dan muak gagal disembunyikan dari raut wajah para hadirin, tanpa diwarnai teriakan takbir. Malam gulita, lagu Indonesia Pusaka serentak ditembangkan ratusan orang di kompleks Keraton Kartasura, Jawa Tengah (Sabtu, 23/4). Acara bertajuk Tetesing Luh ing Kartasura dihelat guna merespons aksi perusakan tembok istana buatan abad XVII itu. Luh (air mata) menetes, meratapi benteng keraton berumur 400 tahun ini ajur mumur dihantam alat berat tanpa ampun.

Situs kuno di sisi barat kampung halaman Presiden Joko Widodo tersebut kini menjadi buah bibir bukan lantaran jejak penting dinasti Mataram Islam. Melainkan, gara-gara dirusak oleh “pemilik tanah” akibat ketidaktahuan terhadap heritage. Mengapa sebagian tembok klasik itu bisa masuk dalam sertifikat si pembeli tanah merupakan pertanyaan mengusik kalbu sampai detik ini. Keadaan tambah runyam selepas diketahui pengelolaan cagar budaya tingkat nasional itu ternyata diserahkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah kepada Pemerintah Kabupaten Sukoharjo per 1 Januari 2020.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sportif diakui bahwa aspek sumber daya manusia dan dana perawatan di tingkat kabupaten jelas tak mencukupi dalam program pelestarian tinggalan leluhur segede ini. Alih-alih melaju ke tahap pengembangan warisan sejarah, tahap pencatatan objek yang diduga cagar budaya di level lokal saja masih tertatih-tatih. Sementara, mereka kudu berpacu dengan sang kala, kian hari bangunan tua itu kian merenta dan melapuk dicaplok zaman.

Selama ini, saya rasa terdapat pemahaman keliru dalam memaknai “ibu kandung” Keraton Kasunanan Surakarta, Keraton Kasultanan Yogyakarta, Pura Mangkunegaran, dan Pura Paku Alaman tersebut. Bekas Istana Kartasura acap dipandang sebagai “zaman kegelapan” dari masa ke masa, seolah tiada setitik sinar di kedaton kuno sepanjang periode itu. Kawasan historis ini menyimpan kisah pahit sederet pewaris wangsa Mataram Islam berlumur konflik. Antara lain, Amangkurat II (1677-1703), Amangkurat III (1703-1704), Paku Buwana I/Pangeran Puger (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1727) serta Paku Buwana II (1727-1746). Membaca alur sejarahnya, cagar budaya yang didirikan Amangkurat II itu melulu disorot dalam perspektif konflik, kekerasan, percikan darah, ambruknya kekuasaan Jawa, hingga akhirnya maklum dilupakan.

Terbukti tatkala kasus vandalisme mencuat ke permukaan, memori kelam tergugah dari tidur panjangnya. Ingatan kolektif masyarakat sontak mengarah pada peristiwa nahas bedhah Kartasura alias geger pecinan yang meluluhlantakkan ibu kota kerajaan tahun 1742. Sampai terbit guyonan getir, yaitu dulu tembok dijebol memakai senjata, sekarang dirusak pakai ekskavator, tanpa harus melibatkan campur tangan Kompeni. Bahkan, cerita pilu berabad silam diabadikan lewat mitos “geblag Kartasura” bahwa warga setempat tidak dianjurkan menggelar hajat bertepatan dengan hari kehancuran Keraton Kartasura, sebab mengandung unsur negatif. Sederhananya, tak pantas robohnya kedaton dan hilangnya kewibawaan raja diperingati dengan pesta pora.

Lalu, sepotong pertanyaan disorongkan, apakah ada pencapaian gemilang atau setitik sinar di era Kartasura untuk diumumkan ke publik? Mari kita mengayunkan kaki ke Museum Radyapustaka, Solo. Nanti bakal dijumpai artefak yang tersisa dari peradaban Kartasura yang relatif pendek itu, yakni berwujud mesin jam. Teknologi yang bertemali dengan unsur waktu itu sudah karatan, tapi memuat makna tak sepele. Pengujung abad XVII, terjadi perubahan pola pemikiran masyarakat Jawa. Jam raksasa itu menggantikan gejala alam sebagai tetenger. Taruhlah contoh, wektu bocah ngucul sore (ketika anak menggembalakan ternaknya) dan srengenge wis angslep (mentari telah karam) sehingga tiba saatnya menyudahi pekerjaan. Guna menunaikan sembahyang Subuh, barisan bangsawan di istana Kartasura dan ulama di kampung Kauman tak lagi bergantung pada simbol alam embun getol mengeramasi rerumputan ataupun kokok ayam terdengar kali pertama. Jam dipasang di ruang terbuka dekat hunian raja ini menyulap kultur tersebut.

Selain sesobek cerita di muka, capaian terbaik lainnya ialah penggubahan karya sastra. Serat Menak, Serat Iskandar, Serat Yusuf, dan Serat Ngusulbiyat semula berbahasa Melayu dari daerah Campa digubah atas titah Kanjeng Ratu Mas Balitar. Setumpuk naskah diterjemahkan dalam aksara Jawa dan dipelajari barisan aristokrat, lantas dituturulangkan (getok tular) ke masyarakat. Belahan hati Paku Buwana I yang juga nenek Paku Buwana II tersebut lincah menciptakan “alat legitimasi” tatkala kekuatan kerajaan Kartasura melempem akibat peperangan dan intervensi VOC. Strategi budaya ini tampaknya terinspirasi oleh Sultan Agung yang melahirkan Sastra Gending sewaktu kekuasaannya menipis akibat kalah melawan VOC. Ia berujar, setiap wangsa Mataram harus menguasai sastra dan gending yang sekaligus merupakan sarana dalam ibadat mistik.

Serpihan fakta tersebut menuduhkan tumbuhnya budaya anyar Keraton Kartasura yang cerdas menggarap naskah internasional ke dalam budaya tradisional. Dalam studi sastra Alex Sadewa (1995) dipaparkan, usaha ini memperlihatkan keluasan cakrawala elite Jawa di Kartasura di tengah kemelut. Mereka menjaga keluhuran moral dan religi masyarakatnya, namun memiliki orientasi yang luas ke arah luar kelompok. Artinya, mereka berhasil berjingkrak dalam arus globalisasi dan modernisasi, tanpa terseret menanggalkan kejawaannya.

Demikianlah, sebagian kelir apik untuk melawan (meluruhkan) stigma negatif “zaman kegelapan” yang kuat ditempelkan pada dinasti Kartasura. Tentu masih ada prestasi lainnya guna membuka kesadaran kita memaknai ulang heritage di ujung barat Kota Solo yang nestapa. Mestinya bersemangat merawat dan memopulerkan situs Keraton Kartasura, bukan malah membuatnya babak bundas.

Belajar dari bangsa Yunani, beberapa pilar lawas yang tersisa masih dipelihara sebaik mungkin karena mampu menggaungkan narasi sejarah benih demokrasi brojol di sana hingga meresap ke penjuru dunia. Jika cagar budaya itu melenyap, bukan tak mungkin di kemudian hari kisah sejarah dianggap isapan jempol alias koya.

Penulis Heri Priyatmoko, dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya