SOLOPOS.COM - Pegawai Dinkes Jateng menunjukkan vaksin yang disimpan di ruang penyimpanan obat-obatan di Kantor Dinkes Jateng, Kota Semarang, Rabu (28/6/2016). (Imam Yuda Saputra/JIBI/Semarangpos.com)

Vaksin palsu tak terdeteksi selama 13 tahun. Dua tahun terakhir, peredaran vaksin tak diawasi karena terbentur aturan.

Solopos.com, JAKARTA — Temuan Bareskrim Polri terhadap vaksin palsu yang pertama kali ditemukan di Jawa Barat mengungkapkan adanya celah barang ilegal masuk ke pasar kesehatan. Ngerinya, vaksin ini telah masuk ke tubuh bayi yang dikhawatirkan menimbulkan penyakit baru.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YLKI) Marius Wijayarta mengatakan regulasi terkait pengawasan peredaran produk farmasi terbentur dengan peraturan yang tidak memberikan ruang gerak yang leluasa dalam melakukan pengawasan.

Ekspedisi Mudik 2024

Dia mengatakan Peraturan Menteri Kesehatan No. 35/2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dibuat pada 7 Juli 2014. Sebelum 2014, pengawasan sepenuhnya dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Pasal 9 menerangkan pembinaan dan pengawasan peredaran produk farmasi dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kabupaten/Kota, dan melibatkan organisasi profesi. Namun, vaksin palsu sudah ditemukan sejak 13 tahun yang lalu, maka menurutnya, sebelum adanya Permenkes tersebut, pengawasan dilakukan oleh BPOM.

“Jadi sudah jelas, setelah 2014 tanggung jawab penuh Kementerian Kesehatan dan sebelum 2014 tanggung jawab BPOM. Mereka tidak bisa berkelit. Tapi sesuai dengan aturan itu, pengawasan obat tidak melibatkan BPOM. Padahal Menteri Kesehatan regulator, bukan pelaksana,” ujarnya kepada Bisnis/JIBI, Rabu (29/6/2016).

Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan sebagai pelaksana, lanjutnya, tidak punya wewenang karena tidak memiliki tim penyidik sehingga masih tergantung oleh tenaga dari Dinas Kesehatan. “Padahal dinkes bukan aparat [Kementerian Kesehatan]. Jadi kemungkinan dua tahun enggak ada yang mengawasi,” tuturnya.

Menurutnya, ketimbang Kementerian Kesehatan, BPOM lebih memiliki kapasitas untuk melakukan pengawasan dan pengujian karena sudah didukung dengan balai yang memiliki fasilitas baik, dengan catatan balai tersebut aktif. Hal yang sama berlaku pada Permenkes No.58/2014 yang mengatur rumah sakit dan Permenkes No.10/2014 mengatur puskesmas.

Plt. Kepala BPOM Bahdar Johan dalam jumpa pers pada Selasa kemarin mengakui bahwa BPOM melakukan kesalahan. “Memang salah kami harusnya barang seperti ini tidak ada lagi. Tapi banyak orang jahat di luar sana. Dan sejak 2013 kami sudah melakukan peringatan [untuk menggunakan jalur resmi]. Tapi sampai 2015 masih ditemukan kasus serupa,” katanya.

Dia mengungkapkan 28 jalur tidak resmi yang disegel BPOM disinyalir mendistribusikan barang palsu, tapi status tersebut belum pasti. BPOM telah melokalisir 28 sarana tidak resmi yang umumnya berasal dari rumah sakit swasta.

Kini pihaknya telah membentuk tim untuk yang terdiri dari produsen yang vaksinnya dipalsukan seperti Bio Farma dan Sanofi untuk melakukan pengujian terhadap vaksin yang berada di 28 jalur tidak resmi tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya