SOLOPOS.COM - Menteri Kesehatan, Nila Djuwita F. Moeloek, memberikan vaksin polio di Pos PIN Rumah Sakit Ortopedi (RSO), Selasa (8/3/2016). RSO menjadi satu dari tiga rumah sakit di Sukoharjo yang memberikan pelayanan imunisasi polio secara gratis. (Istimewa/Humas RSO Solo)

Vaksin palsu membuat rumah sakit jadi sorotan. Sayangnya, pemerintah didesak tak lepas tangan.

Solopos.com, JAKARTA — Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah mengambil alih tanggung jawab rumah sakit untuk melakukan general chekcup pada korban-korban vaksin palsu. Semestinya masyarakat berhubungan dengan Satuan Petugas yang dibentuk Kementerian Kesehatan untuk menangani kasus ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghindari proses yang berkepanjangan apabila para korban dihadapkan langsung dengan pihak rumah sakit. Sebab setiap rumah sakit punya sikap yang berbeda.

“Sikap rumah sakit berbeda-beda. Ada rumah sakit yang tidak terima karena menganggap juga jadi korban. Masyarakat juga sudah hilang kepercayaan kepada rumah sakit,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo, ketika dihubungi Bisnis/JIBI, Minggu (17/7/2016).

Menurut data kepolisian, beberapa rumah sakit diduga dengan sengaja memasok vaksin palsu karena memiliki kontrak pengadaan dengan distributor. Namun ada juga yang peredaran vaksin palsu dilakukan oleh oknum dokter, sehingga manajemen rumah sakit mengaku sebagai korban.

Masalah lainnya adalah beberapa rumah sakit yang telah diumumkan pemerintah bukanlah rumah sakit besar. Dia yakin rumah sakit tersebut tidak memiliki anggaran ataupun kompetensi untuk melakukan general checkup. YLKI khawatir membiarkan rumah sakit tersebut melakukan general checkup malah akan menimbulkan masalah baru. “Tambah merugikan korban lagi.”

Adapun menurut YLKI, pemerintah juga perlu ikut menanggung biaya general checkup sebagai bentuk tanggung jawab karena telah lalai mengawasi sejumlah fasilitas kesehatan. Padahal setiap fasilitas kesehatan mendapat izin beroperasi dari pemerintah. Seharusnya dibalik pemberian izin juga dilakukan pengawasan secara menyeluruh.

Meski begitu, bukan berarti rumah sakit tidak dibebankan apapun. Proses hukum harus terus berjalan. Apabila pasien atau bahkan pemerintah menuntut ganti rugi secara perdata, itu menjadi hak pemerintah ataupun pasien yang menjadi korban vaksin palsu.

Selain itu, YLKI juga mengkritik kebijakan Kemenkes yang mengumumkan ke publik beberapa nama rumah sakit pelanggan vaksi palsu. Di satu sisi hal tersebut bisa menjadi contoh baik dalam hal sikap keterbukaan pemerintah. Namun di sisi lain, dia melihat buruknya koordinasi pemerintah dengan 14 rumah sakit tersebut.

Terbukti dari situasi di lapangan setelah pemerintah mengumumkan 14 nama rumah sakit pelanggan vaksin palsu, masyarakat berbondong-bondong melakukan protes. Sangat terlihat rumah sakit tidak siap menghadapi hal itu. Akibatnya, pasien lain yang membutuhkan layanan kesehatan ikut terganggu.

Berdasarkan pantauan YLKI, seluruh rumah sakit yang diumumkan pemerintah mendapat respons keras dari para pasien. Bahkan para pasien ada yang rela menunggu hingga larut malam untuk menunggu pertanggungjawaban dari rumah sakit tersebut. “Tidak begitu [situasinya] kalau masyarakat berhubungan dengan Kemenkes yang di dalamnya ada rumah sakit,” ujar Sudaryatmo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya