SOLOPOS.COM - Ilustrasi imunisasi (Burhan Aris N./JIBI/Solopos)

Vaksin palsu muncul dengan label vaksin-vaksin untuk imunisasi lanjut. BPOM menyebut fenomena ini karena permintaan vaksin impor oleh kalangan menengah.

Solopos.com, JAKARTA — Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menilai beredarnya vaksin palsu disebabkan oleh permintaan dari kalangan masyarakat yang meminta vaksin yang ada di luar stok pemerintah. Plt. Kepala BPOM Bahdar Johan mengatakan penemuan vaksin palsu berasal dari jalur tidak resmi yang berani menjual vaksin di bawah harga pasaran.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Itu disebabkan adanya permintaan vaksin di luar program pemerintah. Kadang dari kalangan menegah atas minta vaksin alternatif seperti hepatitis A yang impor. Padahal kalau kita pakai sembilan vaksin dari pemerintah insya Allah aman dan gratis,” katanya saat konferensi pers, Selasa (28/6/2016).

BPOM melaporkan bahwa Bareskrim Polri menemukan adanya vaksin palsu yang dilabeli produksi PT Biofarma, PT Sanofi Grup, dan PT Glaxo Smith Kline, sebanyak 12 jenis produk. Beberapa vaksin yang ditemukan termasuk jenis vaksin yang banyak digunakan untuk imunisasi pada bayi, antara lain vaksin hepatitis B, campak, polio, dan Bacillus Calmette Guerin (BCG) untuk penyakit tuberculosis (TBC).

Dia menjelaskan setiap perusahaan memiliki satu distributor resmi yang tersebar di tiap provinsi dan kota besar lainnya. Akibat penemuan tersebut, BPOM telah menyegel 28 distributor ilegal yang tersebar di sembilan provinsi untuk menghindari persebaran vaksin palsu.

“Pada 23 Juni lalu kami sudah perintahkan BPOM di seluruh Indonesia untuk melakukan pemeriksaan vaksin. Tapi perlu ditekankan, pembelian produk di jalur tidak resmi saja sudah menyalahi peraturan KUHP. Biar impor asal dari distributor resmi pasti aman,” ujarnya.

BPOM, lanjutnya, sudah menginstruksikan Sarana Pelayanan Kesehatan (Saryankes) untuk tidak lagi membeli dari agen lepas (freelance).
Namun, dia mengakui pengawasan BPOM terbatas pada cakupan distributor yang hanya dilakukan kepada jalur distribusi resmi.
Hingga saat ini distributor diberi syarat seperti harus memiliki pendingin (cold storage) di bawah 6 derajat celcius.
“Sarana resmi itu bukan apotek. Tidak semua apotek boleh menujual vaksin. Jadi yang kami awasi sarana yang punya cold storage,” ujarnya.
Bahdar mengungkapkan dalam melakukan pengawasan pihaknya tebentur dengan aturan yang tidak memberikan kebebasan.
Dia mencontohkan BPOM tidak terlibat dalam pelayanan rumah sakit yang tertuang dalam Permenkes No.58/2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
“Banyak sekali aturan yang membuat kami tidak bisa bekerja. Permenkes No.35/2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, kami hanya boleh mengawasi produk dan tidak bisa mendeteksi asal obat tersebut,” ujarnya.
Dia berharap kelak dibuat payung hukum yang memperkuat kinerja BPPOM agar dapat melakukan penyidikan seperti polisi. Dia menyebutkan saat ini DPR sedang mengusulkan penyusunan RUU Pengawasan Obat dan Makanan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya