SOLOPOS.COM - Salma Abiyya (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO — Konstitusi merupakan keseluruhan peraturan yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara. Indonesia dikategorikan sebagai negara yang memiliki konstitusi tertulis, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Secara teoretis UUD 1945 merupakan konstitusi negara yang fleksibel sekaligus rigid.

Dikatakan fleksibel ketika terdapat sesuatu yang perlu dan penting untuk diubah serta dikatakan rigid karena proses pengubahannya tidaklah mudah. Di samping hal itu, kepentingan masyarakat Indonesia dinamis seiring dengan perkembangan zaman serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Promosi Meresapi Makna Sajian Lontong, Segala Keburukan akan Hilang

Sejauh mana perubahan kepentingan masyarakat dapat diakomodasi oleh UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis negara? Pembahasan mengenai hal ini menarik dan penting untuk terus dikaji karena berkaitan erat dengan kedudukan dan peran the living constitution atau konstitusi yang hidup di Indonesia.

UUD 1945 telah mengalami amendemen empat kali sejak era reformasi 1998, yaitu pada 1999, 2000, 2001, dan pada 2002. Amendemen dilakukan dengan tujuan menyempurnakan basic rules atau aturan dasar dalam kehidupan bernegara seperti kedaulatan rakyat, tatanan negara, pembagian kekuasaan, hak asasi manusia (HAM), eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi sekaligus negara hukum, dan sebagainya.

Amendemen tersebut telah dilakukan untuk penyempurnaan, namun hasil amendemen UUD 1945 masih memiliki kelemahan substantif, seperti ketidaklengkapan maupun ketidakrelevanan peraturan dalam mengakomodasi perubahan kepentingan dalam masyarakat. Jika terus menggantungkan harapan pada upaya amendemen UUD 1945, kepentingan masyarakat berisiko besar menjadi korban.

Hal ini dapat dianalogikan dengan kasus ban kendaraan bermotor yang bocor dan pemilik kendaraan tidak mempunyai ban cadangan. Di sisi lain, pemilik kendaraan tersebut memiliki urusan mendesak dan perlu menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan kendaraan tersebut.

Tidak ada moda transportasi lain yang dapat ia gunakan. Dalam kondisi seperti ini terdapat dua pilihan, yaitu mengganti ban bocor tersebut dengan membeli ban baru, tetapi membutuhkan biaya yang lebih besar sekaligus waktu yang lebih lama atau menambal kebocoran ban tersebut dengan biaya yang lebih hemat sekaligus waktu yang lebih cepat.

Jika harus mengganti ban bocor dengan ban yang baru, ia tidak akan dapat menghadiri urusan mendesaknya. Menambal ban adalah solusi yang tepat supaya urusan mendesak tidak dikorbankan karena kasus ban bocor tersebut.

Tindakan menambal ban yang bocor adalah sebuah analogi bagi penerapan the living constitution sebagai solusi dinamika kebutuhan hukum di Indonesia karena ada prosedur rigid dalam proses amendemen UUD 1945 yang pada dasarnya memang bertujuan membatasi adanya perubahan.

Prosedur rigid tersebut di antaranya adalah proposal amendemen UUD 1945 harus diajukan oleh minimal 1/3 dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Agar dapat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 maka forum harus dihadiri oleh minimal 2/3 dari anggota MPR dan disetujui oleh 50% plus satu dari seluruh anggota MPR.

Di samping hal itu, rawan terjadi konflik kepentingan yang menggagalkan upaya amandemen UUD 1945 oleh pihak yang merasa kekuasaan mereka akan terusik bila amendemen tersebut dilakukan. Dalam hal ini, memang terdapat dua hal yang disepakati untuk tidak diubah dari UUD 1945, yaitu Pembukaan UUD 1945 yang mengandung dasar filosofis dan normatif sebagai dasar seluruh pasal dalam UUD 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di luar kedua hal tersebut, amendemen UUD 1945 tetaplah sulit untuk dilakukan. Berkaca pada sejarah amendemen UUD 1945, amendemen tersebut dilatarbelakangi merajalelanya praktik pemerintahan yang mengarah pada otoritarianisme. Hal ini terjadi karena ada pasal-pasal karet yang menimbulkan multitafsir.

Pada zaman Orde Baru, kekuasaan tertinggi yang seharusnya terletak pada MPR pada praktiknya ada di tangan presiden. Oleh karena itu, dapat dikatakan amendemen tersebut dilatarbelakangi keadaan yang luar biasa,  yaitu kegentingan situasi politik yang sekaligus diperburuk dengan terjadinya krisis moneter pada 1998.

Di sinilah pentingnya keberadaan the living constitution sebagai konstitusi tidak tertulis untuk dapat menyokong relevansi UUD 1945 dalam praktik kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut Adam Winkler, seorang profesor hukum di University of California, Los Angeles (UCLA), the living constitution adalah gagasan bahwa UUD memiliki makna yang selalu berubah, berkembang, dan menyesuaikan dengan keadaan baru tanpa memerlukan amendemen resmi.

Interpretasi

Gagasan ini berkaitan dengan pandangan bahwa fakta empiris yang terjadi di masyarakat saat ini harus dipertimbangkan ketika menafsirkan pasal-pasal dalam UUD sehingga bisa benar-benar diterapkan sebagai hukum yang hidup di masyarakat.

Peranan the living constitution di Indonesia dapat kita temui dalam bentuk constitutional convention dan interpretasi hakim Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945. Constitutional convention adalah sebuah kebiasaan ketatanegaraan yang dilakukan di luar amanat UUD 1945.

Termasuk dalam constitutional convention yaitu pidato kenegaraan presiden setiap 16 Agustus berisi penyampaian kondisi negara Indonesia dan pidato kenegaraan presiden setiap awal tahun di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  untuk menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun tersebut.

Wujud dari constitutional convention lain di Indonesia adalah adat istiadat, norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan yang secara resmi tidak tercantum dalam UUD 1945, tetapi telah membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan mengakomodasi perubahan kepentingan dalam kehidupan masyarakat.

Bentuk dari the living constitution yaitu interpretasi UUD 1945 oleh hakim Mahkamah Konstitusi. Interpretasi UUD 1945 merupakan practical rules (aturan praktik) yang menjembatani ketentuan tertulis dalam UUD 1945 sebagai basic rules dengan fakta empiris yang terjadi di masyarakat.

Tujuan dari interpretasi ini adalah menghadirkan keadilan terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dengan mempertimbangkan dinamika sosial yang terjadi dan tanpa mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku.

Pemaparan di atas, baik constitutional convention maupun interpretasi UUD 1945 oleh hakim Mahkamah Konstitusi, merupakan bagian dari critical legal studies atau studi hukum kritis terhadap positivisme hukum yang terdapat adagium bahwa “hukum tertinggal tertatih-tatih di belakang perkembangan masyarakat”.

Oleh karena itu, jika sulit melakukan penyesuaian hukum alias mengubah konstitusi tertulis Indonesia maka the living constitution sebagai konstitusi tidak tertulis layak diandalkan untuk menjawab persoalan pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat yang dinamis, karena fleksiibilitas dan kemudahan dalam melakukan penyesuaian ketentuan di dalamnya.

Baik UUD 1945 maupun the living constitution merupakan dua bentuk konstitusi yang memiliki ciri khas, peranan, serta urgensinya masing-masing dalam menyempurnakan penerapan konstitusi di Indonesia. Dengan demikian, sudah selayaknya the living constitution didudukkan sebagai the unwritten constitution yang melekat pada UUD 1945 sebagai sebuah paket lengkap konstitusi di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya