SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Salam Perspektif Baru,
Tamu kita Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Kita akan membicarakan kembali mengenai UU Pornografi yang terus menimbulkan pro-kontra. Kali ini terkait Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan UU itu.

Yuniyanti Chuzaifah mengatakan, masyarakat yang menolak UU Pornografi intinya tidak ingin pornografi mengeksploitasi, khususnya perempuan, karena yang rentan menjadi sasaran adalah perempuan dan anak-anak. Hanya, saat ini diformalisasi menjadi satu UU, tampak beberapa bias di sana-sini. Misalnya batas defi nisi pornografi sangat sumir, dan soal kesusilaan yang mempunyai standar berbeda. Bila UU itu diaplikasikan, penerapannya mengundang ber bagai masalah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Menurut Yuniyanti, prinsipnya Komnas Perempuan menilai UU ini tak diperlukan, karena sudah ada KUHP. Tapi jika tetap dilaksanakan, pemantauan sangat diperlukan. Komnas Perempuan ingin melakukan pemantauan seintensif mungkin untuk memberi review pada pemerintah, bahwa hukum yang intinya kontrak sosial untuk melindungi warganya, ternyata berdampak jatuhnya korban, terutama pada perempuan dan anak.

Berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Yuni yanti Chuzaifah. Wawancara lengkap dan foto narasumber dapat pula dilihat pada situs http://www.perspektifbaru.com. Lewat situs itu, Anda bisa memberi komentar dan usulan. Saya termasuk yang kecewa Mahkamah Konstitusi (MK) meloloskan Undang-Undang (UU) Pornografi . Padahal kita tahu banyak penolakanpenolak an, terutama dari masyarakat dan pemerintah Bali, Sulawesi Utara, dan Papua.

Bahkan mereka mengancam akan keluar dari NKRI, bila UU Pornografi dilolos kan. Tapi nyatanya MK meloloskan itu. Apa sebetulnya yang menjadi keberatan pihak yang menolak ini? Secara umum, kalau kita mecara berpikir atau spirit dibalik UU Pornografi adalah memproteksi agar tak menyebar di Indonesia. Dari starting point itu sebenarnya kita memberi, dan mungkin satu spirit dari kawan yang menolak UU Anti Pornografi , yaitutak ingin pornografi mengeksploitasi, khususnya perempuan, kyang rentan menjadi sasaran perempuan dan anak-anak. Hanya, saat diformalkan menjadi UU,tampak beberapa bias di sana-sini. Misalnya, ada beberapa poin.

Pertama, batas defi nisi pornografi sangat sumir, soal ketelanjangan. Apa itu? Kemudian defi nisinya juga berdasar norma kesusilaan. Norma kesusilaaan itu seperti apa? Soal ketelanjangan dan kesusilaan, apakah ini menunjuk kepada satu jenis kelamin tertentu sehingga ada keberatankeberatan? Pertama, soal kesusilaan yang mempunyai standar berbeda- beda dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu tempat ke tempat lain, dari waktu ke waktu yang lain,dan dari satu agama ke agama lain, dari satu kultur ke kultur lain, jadi akhirnya bila dilihat dari sebuah materi hukum maka menjadi sumir.

Standarnya tidak jelas dan bila hal diaplikasikan makapenerapannya akanmengundang berbagai masalah. Itu dua poin. Ketiga, soal spirit kebhinekaan menbermasalah berat. Misalnya,dalam UU disebutkan bahwa kalau menyangkut ekspresi budaya maka tidak masalah asal dilakukan di wilayahnya. Jadi terlihat proses spirit UUini banyak menimbulkan karenamelanggar  kebhinekaan. Itu diakomodasi tapi tetap saja ada satu kalimat bahwa asal dilakukan di wilayahnya.

Padahal dalam kebinekaan, sebuah bangsa akan adiluhur budayanya dan akan survive apabila ada penghargaan dan orang saling belajar dari budaya yang lain. Nah, UUini mengandaikan bahwa sebuah budaya atau ekspresi kultural boleh hidup di satu teritorial tertentu. Asumsinya sendiri bahwa itu tetap pornografi walaupun itu kultural, sehinggajang an sampamengkontaminasi ke wilayah lain. Jadi, kebhinekaan ini menjadi bersekat, apeng kotakan.

Walaupun ada adjustment saja bahwa dari segi kesusilaan itu tidak dibenarkan. Jadi adabiasbiasnya. Kemudian juga ada keberatan dari poin lain di salah satu pasal yaitu mengenaikorban bisa menpelaku dalam konteks distribusi, dalam konteks kalau dia terlibat di. Komnas Perempuan saat ini paling tidak sedang memantaudua kasus untuk menbahan judicial review UU, tkasus di Karanganyar. Ada sepasang laki-laki dan perempuan yang berpacaran.

Lmereka membuat video yang dianggap pornografi . Ssatu pihak dalam konteks ini laki-lakinya  mendistribusikan video tersebut.Motif utama me reka melakukan rekaman video itu adalah supaya keluarganya membolehkan mereka menikah kkebetulan laki-lakinya sudah pernah berkeluarga. Pakhirnya siapa pelakunya, siapa korbannya menjadi tidak jelas dan perempuannya tetap menkorban.

PNegeriKaranganyar juga kesulitan untuk mendefinisikan dan mengeksekusinya berdasarkan UU tadi kdefi nisinya sangat sumir. Msadar betul bahwa UUAnti Pornografi ssulit untuk diterapkan. Kasus kedua, di Bandung mengenai penari erotis. Mereka berempat dan agennya ada di Jakarta. Sebetulnya yang mengambil banyak benefi t adalah agennya, tapi tetap saja mereka yang dipersalahkan. Se betulnya dalam kasus ini mereka adalah korban traffi cking dan eksploitasi, tapi pada akhirnya dia yang dipersalahkan.

UU Pornografi telah diloloskan padahal kita melihat masih banyak kontradiksi di dalam UU itu. Apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi jatuhnya banyak korban lagi? Pada prinsipnya kita berpikir bahwa UU ini tidak diperlukan karena sudah ada KUHP yang bisa mengantisipasi masalah ini. Tapi jika dipaksakan untuk tetap dilaksanakan maka menurut Komnas Perempuan pemantauan sangat diperlukan. Kami ingin melakukan pemantauan seintensif mungkin untuk memberikan review pada pemerintah bahwa hukum yang intinya kontrak sosial untuk melindungi warganya ternyata justru berdampak pada jatuhnya korban terutama pada perempuan dan anak.

Kedua, kita tetap ingin melakukan penyadaran di tingkat publik. Asumsi di balik dari UU Pornografi itu seakan yang bertanggungjawab adalah perempuan. Ada juga yang kemudian berpikir bahwa natio nal purity atau kesucian bangsa ditentukan oleh perempuan, maka semua yang bersifat ketelanjangan itu seakan-akan perempuan yang harus bertanggungjawab karena asumsinya yang membangkitkan birahi dan sebagainya adalah perempuan. Memang kesannya hanya biasa-biasa saja, tapi dalam konteks masyarakat patriat hal ini menjadi berbeda.

Dalam konteks mendefi nisikan membangkitkan birahi ketika laki-laki memakai sarung dari sepinggang ke atas tidak masalah, tapi untuk perempuan beda sekali. Jadi ada standar moral untuk menentukan kelaziman, norma susila dan kewajaran yang sebenarnya kurang fair. Apalagi ditentukan oleh satu dominant minority yang kesannya menjadi dominant majority, mungkin sedikit tapi powerfull dan mendapat dukungan dari majority yang kesannya umat Islam. Padahal kenyataannya banyak umat Islam yang pluralis dan menghargai perbedaan.

Oleh Yuniyanti C.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya