SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Bisnis Indonesia/Rachman)

Ilustrasi (JIBI/Bisnis Indonesia/Rachman)

SOLO — Undang-undang (UU) No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dinilai masih memiliki kelemahan lantaran hanya mengatur peredaran uang kartal. UU tersebut belum mengatur uang giral dan transaksi elektronik.

Promosi BRI Sambut Baik Keputusan OJK Hentikan Restrukturisasi Kredit Covid-19

Pakar Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Drs Zafrullah Salim MH, menyampaikan UU Mata Uang ini punya ruang lingkup yang sangat terbatas. Karena, dalam pasal 2 UU No 7 Tahun 2011 tersebut, macam uang rupiah hanya uang kertas dan logam. “Belum mengatur transaksi uang giral maupun transaksi elektronik. Jika pada dua jenis transaksi tersebut memakai satuan mata uang asing, ya tidak bisa kena sanksi pidana,” kata Zafrullah, di sela-sela Sosialisasi UU Mata Uang, yang diselenggarakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, di The Sunan Hotel Solo, Jumat (30/11/2012).

Padahal, dalam UU tersebut diamanatkan agar mata uang rupiah harus digunakan sebagai alat pembayaran yang sah, selama transaksi itu dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan dalam UU tersebut, kata Zafrullah, juga ada ketentuan baru mengenai mata uang rupiah yang sebelumnya belum di atur dalam KUHP. Misalnya, mengenai sanksi pidana jika ada warga yang menolak menerima uang rupiah, atau menerima pembayaran mata uang asing.

Zafrullah berharap rencana perubahan UU Bank Indonesia (BI) bisa mengatur transaksi elektronik dan giral agar tetap memakai mata uang rupiah. Dalam sosialisasi tersebut, muncul beberapa kasus di lapangan terkait masih banyaknya transaksi yang memakai mata uang asing. Seperti di Soloraya, ada sekolah internasional yang memberlakukan pembayaran dengan mata uang dollar. Selain itu, di industri pariwisata juga banyak transaksi yang memakai mata uang asing.

Menanggapi hal ini, Zafrullah mengatakan penerapan UU Mata Uang ini bisa maksimal jika pemerintah sudah memiliki UU Redenominasi. Dia mendesak, DPR segera membahas RUU Redenominasi mengenai perubahan harga mata uang. “Kalau rupiah bisa diredenominasi, misalnya Rp1.000 menjadi Rp1, maka orang Indonesia akan lebih bangga memegang rupiah,” katanya. Selama ini, menurut dia, orang lebih banyak memegang valuta asing karena nilai rupiah dianggap masih sangat rendah.

Kasubdit Perencanaan dan Pengendalian Pengelolaan Kas Negara, Direktorat Jenderal Pendapatan Negara Kemenkeu, Wibawa Pram Sihombing, menyampaikan UU No 7 Tahun 2011 mengamanatkan setiap transaksi di dalam negeri harus pakai rupiah. Tapi, ada beberapa pengecualian seperti transaksi dalam rangka anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN), penerimaan atau pemberian hibah dari dan ke luar negeri, transaksi perdagangan Internasional, simpanan di bank dalam bentuk valuta asing dan transaksi pembiayaan internasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya