SOLOPOS.COM - Ribuan tenaga kesehatan dari berbagai wilayah di Indonesia berunjuk rasa menolak RUU Kesehatan di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023). (Istimewa/Arif Budi Satria)

Solopos.com, JAKARTA — DPR akhirnya mengesahkan RUU Kesehatan menjadi Undang-undang (UU), Selasa (11/7/2023) siang, di tengah kontroversi yang digugat sejumlah organisasi profesi yang terkait dengan kesehatan.

Pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU dilakukan dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Berikut sebagian kontroversi dalam UU Kesehatan yang dipersoalkan tim medis dan dokter:

1. Pembahasan Terburu-buru

Tim medis dan dokter yang tergabung dalam lima organisasi meminta penundaan pengesahan RUU Kesehatan karena menilai pengesahan aturan ini terburu-buru.

Padahal, RUU ini diatur dalam bentuk omnibus atau berisi banyak topik.

RUU Kesehatan baru masuk ke dalam Prolegnas DPR pada Februari 2023.

Artinya, pembahasan RUU ini tak lebih dari lima bulan.

IDI misalnya, menyoroti penyusunan RUU kesehatan yang terlalu singkat.

Ketua Umum PB IDI Moh. Adib Khumaidi menjelaskan, sesuai hasil diskusi Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP), pembahasan RUU Kesehatan kurang transparan dan tak mengedepankan partisipasi.

“Tidak secara memadai memenuhi asas krusial pembuatan undang-undang, yaitu asas keterbukaan atau transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan -secara filosofis, sosiologis, dan yuridis- dan kejelasan rumusan,” jelas Adib dalam keterangannya, dikutip Selasa (11/7/2023).

Mereka menilai tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan saat ini.

Dia menyatakan ada sembilan UU terkait kesehatan yang masih relevan tanpa adanya kontradiksi satu sama lain namun dipaksakan dalam RUU Omnibus Law.

2. Penghapusan Dana Wajib Kesehatan

Dalam pembahasan RUU Kesehatan, disepakati untuk menghapus alokasi anggaran kesehatan pemerintah pusat (mandatory spending).

Beberapa fraksi seperti PKS dan Demokrat sempat menolak penghapusan ini namun kalah jumlah dengan fraksi yang setuju.

Sebelumnya, mengacu pada Pasal 171 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, negara harus menyediakan anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD.

Dalam UU Kesehatan yang baru anggaran itu dihapus. Penghapusan mandatory spending merupakan usulan pemerintah.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berpendapat penghapusan sistem mandatory spending diperlukan lantaran selama ini alokasi di bidang kesehatan pada kenyataannya masih belum berjalan dengan baik.

Oleh karenanya, menteri yang mempunyai latar belakang bankir itu mengaku pihaknya mempersiapkan metode lain terkait penyaluran anggaran di bidang kesehatan yang lebih efektif dan efisien.

“Kita akan membangun rencana induk kesehatan ini lima tahun ke depan, mengintegrasikan antara pemerintah pusat, daerah, dan lembaga lain seperti BPJS yang juga memiliki dana kesehatan,” katanya di Kompleks Parlemen Senayan dikutip Jumat (23/6/2023).

3. Tembakau Setara Zat Adiktif

Dalam UU Kesehatan yang baru ditetapkan pasal yang menyatakan hasil tembakau sebagai produk yang setara dengan narkotika dan zat adiktif lainnya.

Menurut UU Kesehatan tersebut, zat adiktif disebut sebagai semua bahan atau produk yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat.

Pihak yang menentang menilai ketentuan baru ini telah menyalahi perundang-undangan yang berlaku lantaran tembakau merupakan komoditas strategis perkebunan dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Sementara itu, pihak yang mendukung malah ingin adanya penambahan pelarangan iklan, promosi, atau sponsor industri rokok yang dinilai kerap kali menyasar generasi muda Indonesia.

4. Ketentuan Organisasi Profesi

Dalam UU Kesehatan yang baru bagian pengaturan Organisasi Profesi, dinyatakan setiap kelompok tenaga medis dan tenaga kesehatan diperbolehkan untuk membentuk satu organisasi profesi.



Sebelumnya, dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan satu-satunya wadah tunggal bagi profesi dokter di Indonesia.

Sementara untuk dokter gigi, organisasi profesinya yaitu Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).

Dengan disahkannya UU Kesehatan yang baru, ke depannya bukan hanya IDI dan PDGI organisasi profesi yang keberadaannya akan diakui negara.

IDI menolak ketentuan baru ini karena ditakutkan akan ada standar ganda dalam penegakan etika profesi kedokteran yang kemudian menimbulkan kegaduhan dan masyarakat tidak mendapatkan haknya.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Segera Disahkan DPR, Daftar Kontroversi RUU Kesehatan”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya