SOLOPOS.COM - Ilustrasi (illustratiction.fr)

UU ITE menjadi kontroversi karena mengandung pasal 27 yang selama ini dianggap sebagai pasal karet.

Solopos.com, BANDUNG — Beberapa pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) salah satunya Pasal 27 ayat (3) dimana ketentuan penghinaan dan pencemaran nama baik diatur, memang dinilai cukup kontroversional.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pasal tersebut dianggap menjadi pasal karet (haatzai artikelen), karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung pada interpretasi pengguna UU ITE itu sendiri.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengungkapkan pada tahun ini pihaknya akan melakukan revisi UU ITE, khususnya pada pasal yang dinilai kontroversional. Revisi Pasal 27 ayat (3) itu akan diupayakan sesuai kesepakatan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Terkait dengan Pasal 27 ayat (3) kita sepakat dengan DPR, akan revisi UU ITE tersebut pada 2015 atau tahun ini. Kita berharap juga yang berada di sistem peradilan dapat mendengar suara kita,” katanya di Bandung, Rabu (11/3/2015).

Dia mengatakan masih belum dapat memberikan rancangan atau rencana aturan yang baru nanti, karena restruktur ini masih harus dibicarakan dengan DPR. Namun, dia berjanji akan membuat aturan tersebut tidak akan mengundang kontroversi seperti yang terjadi pada saat ini.

Terkait tuntutan, Rudiantara menilai hukuman yang terlalu tinggi dan terlalu rendah tidak akan mendidik masyarakat. Karena itu, harus ada kesesuaian agar hal yang dinilai melanggar tersebut tidak lagi mudah dilakukan.

“Tuntutan ini harus pas, kalau tidak nanti orang dengan mudah melakukan istilahnya kategori pencemaran nama baik karena merasa tidak diapa-apain. Ini tidak boleh, sehingga tetap harus ada efek jera, namun tidak boleh juga menjadi sesuatu yang kontroversional.”

Menurutnya, revisi hanya akan dilakukan pada pasal yang memang dinilai kontroversional saja karena secara prinsip UU ITE yang ada saat ini memproteksi semua transaksi alat elektronik di Indonesia seperti mobile atau electronic banking.

“Yang kontroversional saja yang direstruktur, yang tidak jangan. Jika UU ITE ini dibuka semua, nanti akan repot karena proteksi transaksi elekronik menjadi tidak ada dasarnya,” ujarnya.

Terpisah, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengungkapkan revisi UU ITE dinilai sangat penting karena beberapa pasal pada UU tersebut khususnya pasal 27 ayat (3) memang merupakan pasal karet. Pasal tersebut ada dan dinilai dapat dengan mudah dipakai untuk memidanakan pihak lain.

Lasma Natalia, Kepala Divisi Litbang LBH Bandung, mengatakan berdasarkan hasil monitoring tercatat cukup banyak kasus pencemaran nama baik yang diarahkan menjadi kasus pidana.

“Awalnya, UU ITE ini dibuat untuk mengontrol semakin banyaknya pengguna alat elektronik. Namun dalam pengimplementasiannya, kebanyakan pasal dalam UU ini digunakan justru bukan untuk tujuan yang baik,” katanya, Kamis (12/3/2015).

Lasma menilai UU ITE khususnya pasal 27 ayat (3) tersebut kebanyakan digunakan untuk melaporkan pihak yang kesetaraannya lebih rendah. Misalnya oleh pemerintah kepada masyarakatnya, oleh suami ke istri, atau oleh atasan perusahaan ke karyawannya.

Kasus pencemaran nama baik dari UU ITE ini sudah cukup banyak. Bahkan di Kota Bandung akhirnya muncul kasus serupa, meskipun masalah awalnya merupakan masalah rumah tangga.

Pada sisi lain, peraturan ini juga membungkam kebebasan hak warga negara secara pribadi untuk menyatakan pendapatnya secara kritis. Menurut Lasma, secara tidak langsung peraturan ini dapat menjadi bumerang bagi para pengguna media sosial elektronik yang biasa menyampaikan kritikan atau aspirasinya pada website pemerintahan atau lembaga lainnya baik negeri atau swasta.

“Meskipun batasannya jelas, tetapi ketika dalam implementasi unsurnya sudah terpenuhi maka kasus dapat dengan mudah diangkat. Pasal ini gampang digunakan oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan akhirnya menjadi ancaman bagi semua karena membatasi hak seseorang.”

Lasma menilai jika pemerintah masih belum siap mengimplementasikan pasal tersebut dengan benar dan bijaksana, maka pasal tersebut lebih baik dihilangkan. Pendekatannya juga diubah karena cara menertibkan perilaku seseorang tidak harus dengan UU.

Menurutnya, pendekatan lain yang bisa dilakukan adalah memperbaiki mekanisme komplain yang mana saat ini sudah ada dan membutuhkan proses cukup panjang. Begitu pula dengan penyampaian yang salah atau tidak sesuaipun, menurut Lasma merupakan suatu bentuk kekecewaan seseorang ketika apa yang dikeluhkannya tidak dapat disalurkan.

“Memang saat ini kita bisa komplain akan suatu hal misalnya melalui lembaga Ombudsman. Tetapi itu memerlukan proses yang panjang dan runut sehingga akhirnya digunakanlah media sosial sebagai media interaktif, meskipun terkadang juga dilakukan dengan penyampaian yang salah seperti tidak sopan.”

Sayangnya ketika mekanisme komplain melalui media interaktif Internet seperti Twitter dan Facebook dibuka, hal tersebut justru dijadikan corong oleh beberapa pihak untuk dengan mudahnya mempidanakan seseorang.

“Intinya memang perbaiki dan buka peluang mekanisme komplain ini. Jangan sampai ketika dikomplain atau dikritisi, justru melaporkan hal tersebut sebagai sesuatu yang melanggar karena salah satu aturannya sudah ada yaitu UU ITE tadi,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya