SOLOPOS.COM - Sjumlah unit bus kota Surya Kencana dikandangkan di garasi perusahaan bus itu di Tohudan, Colomadu, Karanganyar, beberapa waktu saat terjadinya kelangkaan BBM solar bersubsidi. Pemerintah dinilai tidak peduli kepada angkutan umum karena justru memberi keleluasaan kepada mobil pribadi ramah lingkungan, yang tidak akan memberikan solusi kepada upaya penguraian kemacetan lalu lintas. (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

Sjumlah unit bus kota Surya Kencana dikandangkan di garasi perusahaan bus itu di Tohudan, Colomadu, Karanganyar, beberapa waktu saat terjadinya kelangkaan BBM solar bersubsidi. Pemerintah dinilai tidak peduli kepada angkutan umum karena justru memberi keleluasaan kepada mobil pribadi ramah lingkungan, yang tidak akan memberikan solusi kepada upaya penguraian kemacetan lalu lintas. (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

Sjumlah unit bus kota Surya Kencana dikandangkan di garasi perusahaan bus itu di Tohudan, Colomadu, Karanganyar, beberapa waktu saat terjadinya kelangkaan BBM solar bersubsidi. Pemerintah dinilai tidak peduli kepada angkutan umum karena justru memberi keleluasaan kepada mobil pribadi ramah lingkungan, yang tidak akan memberikan solusi kepada upaya penguraian kemacetan lalu lintas. (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

JAKARTA — Pemerintah dinilai tidak sensitif terhadap kebutuhan transportasi publik lantaran lebih memrioritaskan sejumlah insentif bagi pertumbuhan mobil murah ramah lingkungan atau low cost green car (LCGC).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan kebutuhan masyarakat saat ini ialah transportasi yang efisien bukan hanya program mobil murah. “Yang dibutuhkan itu sebetulnya transportasi murah tapi yang diberikan itu hanya mobil murah,” katanya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Djoko, program mobil hemat energi, ramah lingkungan, dan terjangkau atau LCGC sebetulnya merupakan kebijakan yang sejatinya tidak mendukung langkah para kepala daerah dalam menata transportasi umum yang semrawut. Meski murah, kebijakan mobil hemat energi itu tidak mendukung dan berpihak pada transportasi publik sebab dengan tingkat pembelian tinggi tentunya juga akan menguras konsumsi bahan bakar minyak (BBM).

“Tetap saja biar murah kalau banyak yang beli akan kuras BBM. Yang di kota besar akan menambah kemacetan. Terlebih lagi seperti di Jakarta yang 30% adalah pemasaran mobil tersebut,” katanya. Selain itu, Djoko juga menyinggung soal penyebaran penjualan mobil di Indonesia agar diatur sehingga tidak bertumpu atau dominan pada satu titik daerah tertentu. “Sebarannya yang mesti diatur,” katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini mengesahkan beleid diskon pajak penjualan barang mewah untuk kendaraan bermotor yang diyakini akan mendorong pertumbuhan bisnis otomotif.Peraturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.41/2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Regulasi ini merupakan payung hukum untuk proyek low carbon emission program guna mendorong produksi dan penggunaan mobil ramah lingkungan di Indonesia. Programnya meliputi di antaranya insentif perpajakan dan persyaratan pengembangan mobil yang digolongkan sebagai LCGC, mobil bertenaga hibrida, mobil listrik, dan kendaraan berbahan bakar biofuel.

Insentif Transportasi Umum
Bagi Djoko, pemerintah mesti membuat program untuk pengembangan transportasi umum ketimbang selalu memberikan insentif bagi kendaraan pribadi. Selain itu, transportasi publik juga lebih bisa diandalkan dibandingkan dengan program bantuan tunai lansung yang tidak tepat sasaran.

Kondisi saat ini, katanya, angkutan umum yang beroperasi hanya 40% dan sebanyak 90% dari usia armada angkutan umum itu sudah di atas 10 tahun. “Pengusaha angkutan umum itu banyak beban, beragam pungli, belum lagi uji KIR, bunga tinggi dari bank, Korlantas Polri juga tidak pro angkutan umum, safety riding itu pro industri otomotif,” katanya.

Data Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) sebelumnya mengungkapkan terjadi penurunan tingkat keterisian penumpang atau passenger load factor antara 2%-3% setiap tahun yang dikhawatirkan menyisihkan angkutan umum pada 2010 jika tak ada revitaslisasi dari pemerintah. Organda mencatat load factor angkutan umum hingga saat ini hanya 45%-55% dan terus mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir sebesar 2%-3% per tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya