SOLOPOS.COM - Hate speech bukan free speech (ilustrasi: therightleftchronicles.com)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (26/2/2018). Esai ini karya Ichwan prasetyo, jurnalis Solopos dan pencinta buku. Alamat e-mail penulis adalah ichwan.prasetyo@solopos.co.id.

Solopos.com, SOLO–Perjumpaan kami bertiga pada Sabtu (24/2) malam itu sesungguhnya tak disengaja. Justru ketaksengajaan itu yang membuat saya menangkap makna luar biasa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kami bertiga adalah saya yang kebetulan suka membaca buku apa saja, buku Kala Agama Jadi Bencana karya Charles Kimball yang diterbitkan Mizan pada Desember 2003, dan buku Pelintiran Kebencian karya Cherian George yang diterbitkan Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina pada Desember 2017.

Tak ada maksud sedikit pun hendak membaca serius dua buku itu lalu mengutip untuk keperluan tertentu. Rasanya tiba-tiba saja dua buku itu muncul dari tumpukan buku-buku koleksi saya dan kemudian menyajikan wacana bersambung yang sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.

Buku Pelintiran Kebencian karya Cherian George secara lengkap membedah penghinaan dan ketersinggungan yang sengaja diciptakan dan digunakan sebagai strategi politik yang mengeksploitasi identitas kelompok guna memobilisasi pendukung dan menekan lawan.

Pembahasan dalam buku ini menekankan pada pelintiran kebencian yang berbasis agama. Agama dijadikan pijakan atau fondasi untuk mengemas kebencian terhadap “yang lain”. Pemaknaan “yang lain” ini bisa dalam lingkup seagama maupun antaragama.

Ekspedisi Mudik 2024

Selanjutnya adalah: Teknik politik pertikaian…

Pertikaian

Pelintiran kebencian adalah teknik politik pertikaian yang secara strategis memainkan hasutan dan keterhasutan, penghinaan dan ketersinggungan, secara strategis.

Pelintiran kebencian mengeksploitasi kebebasan dalam demokrasi dengan memperkuat identitas-identitas kelompok sebagai sumber daya dalam aksi-aksi kolektif yang tujuannya tidak prodemokrasi.

Buku Kala Agama Jadi Bencana karya Charles Kimball yang terbit lebih dulu, Desember 2003, membicarakan “agama sebagai pemantik kebencian”. Membicarakan agama bagaikan membicarakan suatu paradoks.

G.P. Sindhunata dalam pengantar buku karya Charles Kimball ini menjelaskan di satu pihak agama dialami sebagai jalan dan penjamin keselamatan, cinta, dan perdamaian. Di pihak lain, sejarah membuktikan agama justru jadi sumber, penyebab, dan alasan bagi kehancuran dan kemalangan umat manusia.

Dengan agama orang bisa saling mencintai, tetapi atas nama agama pula orang bisa saling membunuh dan menghancurkan. Pembahasan dalam buku karya Cherian George adalah variasi lain dari “pemberdayaan agama” untuk saling menghancurkan dalam konteks politik: ambisi meraih kekuasaan.

Selanjutnya adalah: Dua buku ini layak ditelaah kembali…

Ditelaah

Hari-hari ini saya merasa dua buku ini layak ditelaah kembali dengan tujuan mencegah pelintiran kebencian, mencegah “pemberdayaan agama” untuk saling menghancurkan. Saya merasa kehidupan politik kita—tercakup di dalamnya ranah sosial dan kebudayaan—tidak sehat.

Indikasi utamanya adalah berpolitik semata-mata dimaknai sebagai “harus meraih kekuasaan”. Kata “harus” itu kemudian diterjemahkan dengan “melakukan segala cara”. Salah satu dari “segala cara” itu adalah “memberdayakan agama” untuk menghancurkan lawan.

Di media sosial, di grup-grup perpesanan Whatsapp maupun Telegram, dan di perbincangan sehari-hari di tengah masyarakat sangat mudah ditemukan gejala tidak sehat ini. Hingga hari ini masih banyak mimbar ceramah keagamaan yang menghamburkan pelintiran kebencian.

Hari-hari belakangan ini beberapa media massa mainstream memberitakan tentang kekhawatiran banyak elemen bangsa ini karena pelintiran kebencian tiap hari (sengaja) diproduksi. Penyebar pelintiran kebencian itu rata-rata justru orang-orang berpendidikan.

Ada guru, mahasiswa, pegawai negeri, bahkan dosen yang ditangkap polisi karena ada bukti telah menyebarkan fitnah, insinuasi, tuduhan tanpa dasar dan tanpa bukti, serta mengeksploitasi sentimen agama dan golongan untuk menjelek-jelekkan pihak lain.

Selanjutnya adalah: Dengan landasan keyakinan menjalankan agama…

Keyakinan

Sebagian di antara mereka melakukan tindakan itu dengan landasan keyakinan menjalankan ajaran agama yang mereka yakini. Perilaku demikian ini, menurut Charles Kimball, setidaknya didorong oleh lima hal.

Pertama, klaim kebenaran agama yang diyakini sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Klaim kebenaran mutlak biasanya disebabkan pemeluknya yakin kitab suci mereka memang mengajarkan demikian. Teks kitab suci agama bisa disembronokan dan disalahgunakan untuk kepentingan apa saja.

Kedua, ketaatan buta kepada pemimpin keagamaan. Dalam autentisitasnya agama tidak pernah menentang intelektualitas dan kebebasan manusia.

Perlu waspada dan berhati-hati terhadap gerakan keagamaan yang bertentangan degan akal sehat, membatasi kebebasan intelektualitas, meniadakan integritas individu pengikutnya dengan cara menuntut ketaatan buta terhadap pemimpin.

Ketiga, umat beragama gandrung dan merindukan zaman ideal lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Agama pada hakikatnya memang semacam harapan bahwa pada masa depan pemeluknya akan memperoleh dan mengalami sesuatu yang ideal.

Selanjutnya adalah: Visi religius demikian ini sah…

Visi yang sah

Visi religius demikian ini sah dan tidak berbahaya, namun ketika para pemeluknya mulai merealisasikan visi itu dan para pemeluknya yakin bahwa Tuhan sendiri yang menginginkan demikian itu, inilah tanda agama akan menjelma dalam perilaku korup dan jahat.

Keempat, pemeluk agama membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan cara”. Praksisnya adalah penyalahgunaan komponen-komponen agama. Tindak kekerasan diarasikan sebagai jihad. Mengobarkan kebencian dikampanyekan sebagai amar makruf nahi mungkar.

Kelima, ketika perang suci dipekikkan. Pelintiran kebencian, dalam pemaknaan subjektif saya, kini menjadi narasi “perang suci” itu.

Para produsen dan penyebar “pelintiran kebencian” jamak menggunakan jargon-jargon yang memperlawankan sesuatu dengan ajaran agama yang mereka yakini atau yang menjadi ikatan dalam kelompok mereka.



Agar pelintiran kebencian tidak mengarah ke agama jadi bencana, sudah saatnya kini para pemeluk agama menjadikan agama sebagai agama perdamaian.

Para pemeluk agama wajib menggali sumber-sumber dan riwayat yang autentik. Dengan demikian mereka bisa menjadi agen-agen perdamaian.

Selanjutnya adalah: Teks kitab suci dibaca sebagai bahasa iman dan cinta…

Iman dan cinta

Teks kitab suci hendaknya dibaca sebagai bahasa iman dan cinta. Menurut Charles Kimball yang mengutip istilah yang dikemukakan Wesley Ariarajah, pendeta gerakan metodis di Sri Lanka, bahasa iman dan cinta adalah bahasa sehari-hari yang kemudian dipakai kala orang berbicara mengenai kebenaran.

Seorang anak selalau mengatakan ayahnya yang terbaik. Anak yang lain juga mengatakan hanya ayahnyalah satu-satunya ayah terbaik. Pernyataan demikian ini tidak bisa ditangkap sebagai bahasa kebenaran.

Ungkapan “kebenaran” anak-anak itu adalah bahasa cinta dan kepercayaan. Kala bahasa kitab suci yang menyatakan kebenaran dimaknai dalam kerangka cinta dan kepercayaan, tak mungkinlah kebenaran (agama) itu didefinisikan sebagai kebenaran yang mengecualikan kebenaran lainnya.

Kuncinya adalah mengutamakan cinta. Jangan biarkan para politikus busuk memperdaya kita dan membuat kita terjebak dalam pelintiran kebencian yang diyakini sebagai kebenaran yang sesungguhnya menuju agama sebagai bencana.

Dua buku aduhai ini dalam pemaknaan subjektif saya mengajak kita membangun kesadaran diri tentang cinta pada sesama sebagai manifestasi keluhuran agama. Sekali lagi, utamakanlah cinta.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya